1) Prasasti
Ngadoman
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Prasasti
Ngadoman
Prasasti
Ngadoman ditemukan di desa Ngadoman, dekat Salatiga,
Jawa Tengah. Prasasti ini penting karena
kemungkinan besar merupakan perantara antara aksara Kawi
dengan aksara Buda.
Alihaksara
diplomatis
- 'ong sri
sarasoti kreta wukir hadi damalung uri
- ping buwana
'añakra murusa patirtan palemaran hapan yang
- widi hani
déni yang raditya yang wulan hanele ‘i halahayu
- ni
dewamanusa yang hanut yang hagawe bajaran tapak tangtu kabah.ha
- deni
dewamanusa muwah. sang tumon sangng amanah arenge luputa
- ring ila
ila pad.a kadelana tutur jati yén ana ngabah ta
- npa bekel
apatik wenang tanpa baktaha histri pitung hajama tan wawa
- dona wastu
sri syati sakawarsa | 1371
Om Sri Saraswati,
gunung Damalung (Merbabu)
yang agung dan suci. Engkau adalah kehidupan di buana ini, melingkari, menjelma
menjadi manusia, tempat air … sebab Hyang Widi … oleh Dewa Matahari, Dewa Bulan
yang menyinari baik buruknya Dewa dan manusia. Juga yang melihat yang punya
hati, mendengar dan akan lolos dari apa-apa yang dilarang oleh tradisi.
Semuanya sama-sama percaya akan tutur yang sejatinya. Jika ada yang … tanpa
memiliki abdi-abdi, mampu tidak membawa seorang wanita, tujuh … tidak beristri
dengan sesungguhnya (Pada tahun Saka 1371 (1449/’50 Masehi).
2)
Prasasti Blanjong
Prasasti
Blanjong (atau Belanjong)
adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini
disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali.
Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali
yang bernama Sri Kesari Warmadewa. Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar
Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177
cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam
huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan
bahasa
Sanskerta. Situs prasasti ini
termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi pula tempat pemujaan dan
beberapa arca kuno.
Isi prasasti
“Pada tahun
835 çaka bulan phalguna, seorang raja yang mempunyai kekuasaan di seluruh
penjuru dunia beristana di keraton Sanghadwala, bernama Çri Kesari telah
mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Swal. Inilah yang harus diketahui
sampai kemudian hari.”
Berdasarkan
isi prasasti tersebut dipastikan prasasti Blanjong dikukuhkan pada tahun 835
Caka (913 M) atas Raja Adipatih Cri Kesari Warmadewa sebagai tanda kemenangan,[1]
3)
Prasasti Singhasari 1351
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Prasasti Singhasari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum
Gajah. Ditulis dengan Aksara Jawa. Prasasti ini ditulis untuk
mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang
dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama prasasti ini merupakan
pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk pemaparan letak
benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu
sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.
Alihaksara
- / 0 / 'i śaka ; 1214 ; jyeṣṭa māsa ; 'irika diwaśani
- kamoktan. pāduka bhaṭāra sang lumah ring śiwa buddha /’ ; /’ swa-
- sti śri śaka warṣatita ; 1273 ; weśaka māsa tithi pratipā-
- da çuklapaks.a ; ha ; po ; bu ;
wara ; tolu ; niri tistha graha-
- cara ; mrga çira naks.atra ; çaçi
dewata ; bâyabya man.d.ala ;
- sobhanayoga ; çweta muhurtta ;
brahmâparwweśa ; kistughna ;
- kâran.a wrs.abharaçi ; ‘irika diwaça sang
mahâmantri mûlya ; ra-
- kryan mapatih mpu mada ; sâks.at. pran.ala kta
râsika de bhat.â-
- ra sapta prabhu ; makâdi çri tribhuwanotungga
dewi mahârâ
- ja sajaya wis.n.u wârddhani ; potra-potrikâ de
pâduka bha-
- t.âra çri krtanagara jñaneçwara bajra nâmâbhis.aka
sama-
- ngkâna twĕk. rakryan mapatih jirṇnodhara ; makirtti caitya ri
- mahâbrâhmân.a ; śewa sogata samâñjalu ri
kamokta-
- n pâduka bhaṭâra ; muwah sang mahâwṛddha mantri linâ ri dagan
- bhat.âra ; doning caitya de rakryan. mapatih
pangabhaktya-
- nani santana pratisantana sang parama satya ri pâda
dwaya bhat.â-
- ra ; ‘ika ta kirtti rakryan mapatih ri
yawadwipa maṇḍala /’
Alihbahasa
- Pada tahun 1214 Saka (1292 Masehi) pada bulan Jyestha
(Mei-Juni) ketika itulah
- sang paduka yang sudah bersatu dengan Siwa Buddha.
- Salam Sejahtera! Pada tahun Saka 1273 (1351 Masehi), bulan Waisaka
- Pada hari pertama paruh terang bulan, pada hari
Haryang, Pon, Rabu, wuku Tolu
- Ketika sang bulan merupakan Dewa Utama di rumahnya
dan (bumi) berada di daerah barat laut.
- Pada yoga Sobhana, pukul Sweta, di bawah Brahma pada karana
- Kistugna, pada rasi Taurus. Ketika sang mahamantri yang mulia. Sang
- Rakryan Mapatih Mpu (Gajah) Mada yang beliau seolah-olah
menjadi perantara
- Tujuh Raja seperti Sri Tribhuwanotunggadewi
Mahara-
- jasa Jaya Wisnuwarddhani, semua cucu-cucu Sri Paduka
- Almarhum Sri Kertanegara yang juga memiliki
nama penobatan Jñaneswara Bajra
- Dan juga pada saat yang sama sang Rakryan Mapatih
Jirnodhara yang membangun sebuah candi pemakaman (caitya) bagi kaum
- Brahmana yang agung[1] dan juga para pemuja Siwa dan Buddha yang sama-sama gugur
- Bersama Sri Paduka Almarhum (=Kertanagara) dan juga
bagi para Mantri senior yang juga gugur bersama-sama dengan
- Sri Paduka Almarhum. Alasan diabangunnya candi
pemakaman ini oleh sang Rakryan Mahapatih ialah supaya berbhaktilah
- Para keturunan dan para pembantu dekat Sri Paduka
Almarhum.
- Maka inilah bangunan sang Rakryan Mapatih di bumi
Jawadwipa.
4)
Prasasti Pakubuwana X ini,
ditaruh di gapura-gapura yang
berada di wilayah Kasunanan Surakarta. Prasasti-prasasti ini ditulis pada tahun 1938.
Prasasti
Gapura Ingkang Sinuhun Pakubuwana X
Daftar
isi
Alihaksara Diplomatis
- kapařṅŋ
iṅ
karṣa
daḷm
śampeyan daḷm hiṅ
- kaṅ
śinuhun hiṅkaṅ
minulya saha hiṅkaṅ
wicakṣa
- ṇa
kaṅjĕṅ
śuśuhunan phakhubhuwaṇa śeṇapati
- hiṅŋ
alaga ŋabdurraḥman śayidin phaṇathagha
- ma
hiṅkaṅ
kapiṅ
X hiyasa gaphura punika; hama
- řngi
hiṅ
dintĕn sĕnen wagé taṅgal
sapisan. wu
- lan
saban tahun jimmawal. oṅka :
1869 : wu
- ku
praṅbakat.
dewi śri ; tulus. tuṅŋle ;
wase
- sa
sagara ; saṅgar
wariŋin. wañci jam. 12 siyaṅ ;
- sinĕṅkalan.
gaphura rinĕṅga samadyaniṅ
praja ; hu
- tawi
kapiṅ ;
26 ; september ; 1938 ; sinĕṅka
- lan.
heṣṭi
huniṅŋa
gaphuraniṅ
rathu ;;
Alihaksara Ejaan Normal
Kapareng ing Karsa Dalem
Sampéyan Dalem Ingkang Sinuhun ingkang minulya saha ingkang wicaksana Kangjeng
Susuhunan Pakubuwana Sénapati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang
kaping X ayasa gapura punika. Amarengi ing dinten Senèn Wagé tanggal sapisan
wulan Saban tahun Jimawal angka 1869 wuku prangbakat Dewi Sri, Tulus, Tungle,
Wasesa Sagara, Sanggar Waringin wanci jam 12 siyang. Sinengkalan: "Gapura
rinengga samadyaning praja." Utawi kaping 26 September 1938, sinengkalan:
"Esthi uninga gapuraning ratu
Alihbahasa
Maka karena berhubung kehendak
beliau Sri Baginda Yang Mulia dan Yang Bijaksana, Sri Susuhunan Pakubuwana
Senapati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Yang ke-X, gapura ini
dibangun. Kala itu terjadi pada hari Senin Wage, tanggal 1 bulan Saban, tahun Jimawal, 1869 A.J.,
wuku Prangbakat,
di bawah perlindungan Dewi Sri, hari Tulus, Tungle, yang memiliki kuasa atas
lautan di Sanggar Beringin pada pukul 12.00 siang. Candra sangkalanya adalah:
"Sebuah gapura dihias di tengah kerajaan." Atau pada tanggal 26
September 1938
dengan memakai candra sangkala: "Gajah melihat gapura sang raja."
Prasasti ini menarik, karena
walaupun ditulis pada era modern, meniru gaya klasik prasasti. Sebagai contoh
coba bandingkan dengan Prasasti Singhasari 1351.
5)
Prasasti Kedukan Buki
Teori Proto-Melayu yang didukung oleh Robert von Heine-Geldern, Johan Hendrik Caspar Kern, JR. Foster, James Richardson Logan, Slamet Muljana dan Asmah Haji Omar [1]
Prasasti
Kedukan Bukit ditemukan oleh M.
Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 ×
80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa
Melayu Kuna. Prasasti ini
sekarang disimpan di Museum
Nasional Indonesia dengan
nomor D.146.
Teks Prasasti
Alih Aksara
Prasasti Kedukan Bukit
- svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu
- klapakşa vulan vaiśākha dapunta hiya<(m> nāyik di
- sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
- apunta hiya,vulan jyeşţha d<(m> maŕlapas dari minānga
- vala dualakşa dangan ko-(sa)(tāmvan mamāva yam
- duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu
- di ma(tlurātus sapulu dua vañakña dātamta jap
- sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula<n>...
- marvuat
vanua...(laghu mudita dātam
- śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa...
Alih Bahasa
- Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari
ke sebelas
- paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
- sampan mengambil siddhayātra. di hari ke
tujuh paro-terang
- bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
- tambahan membawa bala tentara dua laksa dengan
perbekalan
- dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan
seribu
- tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap
(Mukha Upang)
- sukacita. di hari ke lima paro-terang
bulan....(Asada)
- lega gembira datang membuat wanua....
- Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna....
Keterangan
Pada baris
ke-8 terdapat unsur pertanggalan, namun bagian akhir unsur pertanggalan pada
prasasti ini telah hilang. Seharusnya bagian tersebut diisi dengan nama bulan.
Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs
Telaga Batu, J.G. de Casparis
(1956:11-15) dan M. Boechari (1993:
A1-1-4) mengisinya dengan nama bulan Āsāda. Maka lengkaplah pertanggalan
prasasti tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Āsāda yang bertepatan
dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi.[2]
Menurut George Cœdès, siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah” (potion magique), tetapi kata ini
bisa pula diterjemahkan lain. Menurut kamus Jawa Kuna Zoetmulder (1995): sukses dalam perjalanan. Dengan
terjemahan tersebut kalimat di atas dapat diubah: “Sri Baginda naik sampan
untuk melakukan penyerangan, sukses dalam perjalanannya.”
Dari prasasti
Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai berikut:[3] Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan
menaklukan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini (Sungai Musi, Sumatera
Selatan).[4] Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat
Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu ditaklukkan oleh Dapunta
Hyang, tempat penaklukan Malayu terjadi sebelum menaklukan Minanga dengan
menganggap isi prasasti ini menceritakan penaklukan Minanga.[5] Sementara itu Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan
berarti 'temuan'), yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di Riau,[6] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah
tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun
(Provinsi Sumatera Utara sekarang).[7] Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin
Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya