BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terbentuknya suatu keluarga itu
karena adanya perkawinan. Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang
bahagia. Sehingga Keluarga dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri
dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak
juga bisa dikatakan bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
Sedangkan definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang
bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat
terjadi karena pertalian darah, ataupun
terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting
karena ada sangkut paut nya dengan
hubungan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan.
Perkawinan
merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam
sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap
umatnya dituntut untuk mengikutinya.
Perkawinan
di dalam islam sangatlah dianjurkan, agar dorongan terhadap keinginan biologis
dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan untuk menghindarkan
diri dari perbuatan zina.
Anjuran
untuk menikah ini telah diatur dalam sumber ajaran islam yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Di Indonesia sendiri telah terdapat hukum nasional
yang mengatur dalam bidang hukum perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Aturan Pelaksanaannya PP Nomor 9 Tahun 1975.
RUMUSAN MASALAH
a) Apa
pengertian Hukum keluarga ?
b) Apa
pengertian perkawinan ?
c) Bagaimana
pebandingan perkawinan menurut BW dan ketentuan UU NO. 1 tahun 1974
d) Apa hak dan
kewajiban suami istri ?
e) Bagaimana mekanisme harta kekayaan dalam perkawinan ?
f) Hal-hal apa saja yang meyebabkan putusnya perkawinan ?
C.
TUJUAN
a) Untuk mengetahui
pengertian Hukum keluarga
b) Untuk mengetahui pengertian perkawinan
c) Untuk mengetahui
pebandingan perkawinan menurut BW dan ketentuan UU NO. 1 tahun 1974
d) Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami istri
e) Untuk mengtahui mekanisme harta kekayaan dalam
perkawinan
f) Untuk mengetahui Hal-hal yang meyebabkan putusnya
perkawinan
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Hukum Keluarga
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (belanda) atau law of familie (inggris).[1] Istilah
keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan
dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat.[2] Ali affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai
“Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampuan [3], keadaan tak hadir).[4]
Adapun pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
a. Van Apeldoorn
Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan
keluarga
b. C.S.T Kansil
Hukum
keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup
kekeluargaan
c.
R. Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan
d.
Rachmadi Usman
Hukum kekeluargaan adalah ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah yang berlainan jenis
dalam suatu ikatan kekeluargaan
e.
Sudarsono
Hukum kekeluargaan adalah
keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum mengenai kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan[5]
Ada dua
pokok kajian dalam definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali Affiandi,
yaitu mengatur hubungan hukum yang berkaitan:
Ø Keluarga
sedarah dan
Ø Perkawinan
Pertalian keluarga karena turunan disebut keluarga sedarah,artinya sanak saudara yang senenek moyang.
Keluarga sedarah ini ada yang ditarik menurut garis bapak yang disebut matrinial dan ada yang ditarik menurut
garis ibu dan bapak yang disebut parental
atau bilateral.
Pertalian keluarga karena perkawinan disebut keluarga semenda, artinya sanak saudara yang terjadi karena adanya
ikatan perkawinan, yang terdiri dari sanak saudara suami dan sanak saudara
istri. Sedangkan pertalian keluarga karena adat disebut keluarga adat, artinya yang terjadi karena adanya ikatan adat,
misalnya saudara angkat.[6]
B.
Sumber Hukum
Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak
tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis
adalah sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan sumber hukum tak tertulis adalah sumber
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Sumber hukum
keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini
1.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2.
Peraturan
Perkawinan Campuran (Regelijk op de
Gemengdehuwelijk),Stb.1898 Nomor 158
3.
Ordonasi
perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon, Stb.1933 Nomor 74
4.
UU Nomor 32
Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam)
5.
UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
6.
PP Nomor 9
tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
7.
PP Nomor 10
Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil
Selain itu yang
7 ini yang menjadi sumber hukum keluarga tertulis adalah Inpres Nomor 1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini
hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam saja.[7]
C.
Asas-Asas
Hukum keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap
KUH Perdata dan UU Nomor 1 tahun 1974 dirumuskan beberapa asas yang cukup
prinsip dalam Hukum Keluarga, yaitu:
a.
Asas monogamy,[8] asas ini
mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan
seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami.
b.
Asas konsensual,[9] yakni asas
yang mengandung makna bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila terdapat
persetujuan atau consensus antara calon suami-istri yang akan melangsungkan
perkawinan.
c.
Asas persatuan
bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan harta benda
yang dimilikinya.(Pasal 119 KUHPerdata)
d.
Asas
proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam
pergaulan masyarakat.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
e.
Asas tak dapat
dibagi-bagi,yaitu suatu asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya
terdapat seorang wali. Pengecualian dari asas ini adalah
1.
Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang
tua yang hidup lebih lama maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali
serta/wali peserta[10]
2.
Jika sampai
ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak di bawah
umur di luar Indonesia[11]
f.
Asas prinsip
calon suami istri harus telah matang jiwa raganya.( Pasal 7 UU No.1 Tahun 1974)
g.
Asas
monogamy terbuka/poligami terbatas, asas yang mengandung makna bahwa seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan setelah
mendapat izin dari istrinya dengan dipenuhhinya syarat-syarat yang ketat[12]
h.
Asas perkawinan agama, asas yang mengandung makna suatu perkawinan hanya
sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya
masing-masing. (Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
i.
Asas
perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil (kantor catatan
sipil), perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan.[13]
D.
Pengertian
Perkawinan
Menurut UU
No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.[14]
Sebagai
ikatan lahir, perkawinanmerupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. ikatan lahir batin ini
merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan
dirinya maupun bagi orang laian atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi
dengan adanya upacara perkawinan yakni upacara akad nikah bagi yang Beragama
islam.
Sebagai
ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya
kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk
hidup bersama sebagai suami istri. dalam tahap permulaan, iktan bathin ini
diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk
melangsungkan perkawinan.
Selanjutnya,
dalam hidup bersamam ikatan bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami
istri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan
dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.[15]
Dalam
rumusan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 itu tercantum tujuan
perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau
untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup
atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak
diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja
seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya
diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa.[16]
Selanjutnya,
dalam pengertian perkawinan itu juga dinyatak dengan tegas bahwa pembentukan
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan
kepercayaan masing-masing. Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
dinyatakan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945”.[17]
UU No.1
tahun 1974 dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat
dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan
sosial.aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek
formal adalah menyangkut aspek administrative, yaitu pencatatan di KUA dan
catatan sipil.[18]
Sajuti
Thalib, SH dalam bukunya Hukum Keluarga
Indonesia mengatakan: “Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.
Dr. Anwar
Haryono SH, dalam bukunya Hukum Islam juga
mengatakan: “pernikahan adalah suatu petjanjian suci antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”.[19]
Menurut
hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai laki-laki di
satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, perjanjian terjadi
dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali calon istri dan
diikuti oleh dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi.[20]
E.
Hak dan
Kewajiban Suami dan Istri
Sebagai suatu
hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami istri. Yang
dimaksud “hak” ialah sesuatu yang
merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul karena
perkawinannya. Sedangkan “kewajiban” ialah sesuatu yang harus dilakukan atau
diadakan oleh suami atau istri untuk memenuhi hak dan dari pihak yang lain.[21]
Hak dan
kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Hak dan kewajiban antara suami istri
b.
Hak dan
kewajiban antara orang tua dengan anaknya
c.
Hak dan
kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala oarng tuanya telah mengalami
proses penuaan[22]
Hak dan
kewajiban antara suami istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya
perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
1. Hak dan kewajiban antara suami istri adalah sebagai berikut:
a.
Suami istri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat[23]
b.
Hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat[24]
c.
Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum( Pasal 31 ayat 2)
d.
Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah
tangga.( Pasal 31 ayat 3)
e.
Suami istri
harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,yang ditentukan bersama.( Pasal 31
ayat 4 dan Pasal 32 ayat 1)
f.
Suami istri wajib saling mencintai ,
hormat-menghormati, setia dan member bantuan lahir batin yang satu dengan yang
lain.( Pasal 33)
g.
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.(Pasal 34
ayat 1)
h.
Istri wajib
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.( Pasal 31 ayat 2)
i.
Jika suami atau
istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan ( Pasal 31 ayat 3) [25]
Hak dan
kewajiban suami istri yang diatur dalam dalam UU perkawinan pada dasarnya
mengandung persamaan dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam Hukum Islam.
Adapun
kewajiban khusus suami kepada istri yang di Instruksi oleh Presiden RI No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam:
a.
Suami adalah
pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama
b.
Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga dengan kemampuannya
c.
Suami wajib
memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa
d.
Sesuai dengan
penghasilan suami menanggung:
o Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi si istri
o Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak
o Biaya
pendidikan bagi si anak
e. Kewajiban
suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas
mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya
f. Istri dapat
membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b di atas
Selain itu ,
suami juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan tempat kediaman untuk istri
dan anak-anaknya. Di dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa:
1.
Suami wajib
menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang
masih iddah
2.
Tempat kediaman
adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan,
atau dalam iddah talak atau iddah wafat
3.
Tempat kediaman
disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain,
sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat tinggal juga berfungsi sebagai
tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat
rumah tangga
4.
Suami wajib
melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan
keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah
tangga maupun sarana penunjang lainnya
Adapun suami yang beristri lebih
dari 1 orang, juga di atur dalam Kompilasi Hukum Islam
1.
Suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan
biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya
jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada
perjanjian perkawinan
2.
Dalam hal para
istri ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman
Di dalam
Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan beberapa kewajiban bagi istri yang
dianggap nusyuz[27]
i.
Istri dapat dianggap
nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
ii.
Selama istri
dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)
huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya
iii.
Kewajiban suami
tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz
iv.
Ketentuan ada
atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah
Adapun dalam
bukunya Lili Rasjidi juga membagi hak dan kewajiban suami istri dalam dua
kategori,ada kewajiban umum antara suami istri dan ada pula kewajiban khusus
baik suami maupun istri. Menurutnya, kewajiban umum di antara keduanya adalah:
i.
Kedua pihak hendaknya
saling hormat-menghormati, sopan santun dan penuh pengertian
ii.
Memelihara
kepercayaan dan tidak membuka rahasia masing-masing walaupun pada saat ada
kericuhan
iii.
Masing-masing
harus sabar atas kekurangan dan kelemahan yang ada pada tiap-tiap manusia, sehingga
tidak cepat-cepat marah, akan tetapi menunggu dengan tenang untuk menunjukkan
kesalahan-kesalahan hingga dapat diakhiri dengan kebijaksanaan dan pertimbangan
iv.
Jangan cemburu
tanpa alasan, juga tidak mendengar hasutan orang, segala sesuatu periksa terlebih
dahulu
v.
Menjauhi
bibit-bibit percekcokan sehingga tidak terjadi perselisihan- perselisihan yang
tidak diinginkan, dan jika terjadi juga perselisihan, hadapilah dengan keadaan
tenang
vi.
Rela berkorban
untuk kepentingan suami istri dan saling menghormati keluarga masing-masing
vii.
Akhirnya kedua
belah pihak harus berusaha menjadikan rumah tangganya sebagai muara yang aman
dan pelabuhan yang damai, tempat peristirahatan yang teduh untuk seluruh
anggota keluarga, baik pada waktu suka maupun dalam keadaan duka, bersendikan
tawakal dan iman kepada Allah swt dan syukur atas nikmatnya[28]
Sedangkan yang
termasuk dalam kategori Kewajiban khusus bagi istri kepada suaminya adalah
a)
Membantu suami
dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga
b)
Hormat dan
patuh kepada suami dalam batas-batas tidak menyimpang dri ajaran agama
c)
Meyenangkan dan
berbakti kepada suami dengan tulus ikhlas, sedapat-dapatnya selalu bermuka
jernih dan manis
d) Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta
mencukupkan nafkah yang diberikan suami dengan kekuatan dan kemampunnya,
hormat, cermat, dan bijaksana
e) Tidak mempersulit dan memberatkan suami akan tetapi bersifat ridha dan
syukur. Istri utama ialah yang dapat mengetahui kemauan suami sebelum dikatakan
suami, jika terlihat tanda-tanda suami dalam kesusahan
f) Memelihara diri serta menjaga kehormatan dan harta benda suami, baik
dihadapan atau dibelakangnya
g) Memupuk rasa kasih saying dan tidak bertingkah laku yang dapat mendorong
suami dapat berbuat salah
h) Memelihara dan mendidik anak sebagai amanah
Allah dan nikmatnya yang tak ternilai
i) Mengatur dan mengurus rumah tangga dan menjadikannya rumah tangga islam
yang bahagia dunia dan akhirat[29]
J. Istri
adalah ibu rumah tangga (Pasal 79 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam)
Adapun kewajiban
khusus suami kepada istri menurut Lili Rasjidi, sebagai berikut:
a)
Jadilah seorang suami yang baik membimbing dan
memimpin keluarga lahir batin
b)
Memberi nafkah keluarga menurut kemampuan
c)
Hormat dan
sopan santun, apa lagi istri dalam keadaan kesulitan
d)
Membantu
istridalam tugas sehari-hari terutama dalam hal memelihara dan mendidik
anak-anak
e)
Sabar akan
kekurangan-kekurangan istri dan berrusaha menambah dan memperbaiki serta
mempertinggikan kecerdasan
f)
Memberi
kebebasan untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan ajaran agama, tidak
mempersulit dan menyiksa pikiran, apa lagi mendorongnya untuk berbuat salah
g)
Penuh
pengertian, disiplin dan berwibawa berdasarkan kasih saying dan cinta kasih
h)
Berusaha dan
membantu istri untuk menciptakan suasana yang damai dan kerukunan keluarga,
demi kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat
i)
Hormat terhadap
dan sopan keluarga istri
j)
Dapat mengatasi
keadaan dan mencari penyelesaian yang bijaksana jika terjadi perselisihan
k)
Sabar, jujur
dan memelihara kepercayaan serta dapat menyenangkan istri dengan cara yang
halal
Adapun Hak dan
kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalamPasal 45 sampai dengan Pasal
49 UU No. 1 Tahun 1974.
Hak dan kewajiban orang tua dan anak, sebagai berikut:
1.
Orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban oarng tua berlaku sampai anat itu
kawin atau dapat berdiri sendiri
2.
Anak wajib
menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik
3.
Anak wajib
memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua
4.
Anak yang belum
dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang
tua( Pasal 47 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974)
5. Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum dan belum pernah kawin
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan
6.
Orang tua tidak
diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak
menghendakinya
Hak dan
kewajiban yang ke tiga dalam keluarga,yakni Alimentasi. Antara orang tua dengan
anak terdapat kewajiban,alimentasi yaitu kewajiban timbal balik antara orang
tua dengan anak seperti yang ditentukan dalam pasal 45 dan 46 UU No. 1 Tahun
1974 dan Pasal KUH Per. Orang tua dibebani kewajiban untuk memelihara dan
mendidik anak-anaknya yang belum dewasa sesuai dengan kemampuan masing-masing,
demikian sebaliknya anak yang telah dewasa wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka
memerlukan bantuannya.[31]
F.
Tujuan
Perkawinan
Tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri saling membantu dan melengkapi,
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
Dilihat dari
tujuan perkawinan, maka perkawinan itu :
a.
Berlangsung seumur hidup
b.
Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan
merupakan jalan terakhir.
c.
Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri
Suatu
keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan
jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah seperti papan,
sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan rohaniah
contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka.[32]
G.
Akibat
Perkawinan
Di dalam
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, terdapat tiga
akibat perkawinan, yaitu:
1.
Adanya hubungan suami-istri
2.
Hubungan orang tua dengan anak
3.
Masalah harta kekayaan
Hubungan
hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami-istri sejak terjadi
perkawinan. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan
pasal 34 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban suami-istri menurut UU Nomor
1 Tahun 1974, yaitu:
1)
Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal
30 UU Nomor 1 Tahun 1974)
2)
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat
(pasal 31 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974)
3)
Suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(pasal 31 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974)
4)
Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap
(Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974)
5)
Suami-istri wajib saling mencintai,
hormat-menghormati, setia dan member bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain (Pasal 33 UU Nomor 1 Tahun 1974)
6)
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 1974)
7)
Istri wajib mengatur utusan rumah tangga
sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
Apabila
kewajiban-kewajiban itu dilalaikan oleh suami maka istri dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan. Di dalam pasal 103 KUH Perdata juga diatur tentang
hak dan kewajiban suami-istri. Hak dan kewajiban suami-istri sebagai berikut:
1.
Suami adalah kepala rumah tangga;
2.
Suami harus membantu istri;
3.
Suami harus mengurus harta bawaan istri;
4.
Suami harus mengurus harta seperti bapak rumah tangga
yang baik;
5.
Suami tidak boleh menbebankan/memiliki harta bawaan
istri.
Hak dan
kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah
sebagai berikut:
1.
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sensiri (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU nomor 1 Tahun1974)
2.
Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak
mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974)
3.
Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya,
manakala sudah tua (Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974)
4.
Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan
perkawinan ada dibawah kuasa orang tua (Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 tahun
1974)
5.
Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 ayat
(2) UU Nomor 1 Tahun 1974)
6.
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak
menghendakinya (Pasal 48 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Harta benda dalam perkawinan diatur
dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan
itu dibedakan antara harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta
yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan yang diartikan dengan harta bawaan
masing-masing suami-istri adalah harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan.
Harta warisan itu berada di bawah
penguasaan masing-masing pihak, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
(Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila perkawinan antara
suami-istri putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing. Harta bersama itu dibagi sama rata antara suami-istri.[33]
H.
Putusnya
Perkawinan
Putusnya
perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan
suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian, perceraian,
dan atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH
Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan menjadi empat macam,
yaitu:
1.
Kematian salah satu pihak;
2.
Tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti
perkawinan baru;
3.
Adanya putusan hakim;
4.
Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata).
Putusnya
perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan salah
satu pihak baik suami maupun istri meninggal dunia.
Perceraian
adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi
karena dua hal, yaitu:
i. Talak, atau
ii. Berdasarkan
gugatan perceraian.
Talak adalah
ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan. Gugatan perceraian adalah perceraian yang disebabkan adanya gugatan
lebih dahulu oleh salah satu pihak, khususnya istri ke pengadilan.
Talak dibagi
menjadi lima macam, yaitu:
a.
Talak raj’I, yaitu talak satu dan kedua, dimana suami
berhak rujuk selama istri dalam masa iddah;
b. Talak bain shughraa, adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah;
c. Talak bain khubraa, yaitu talak yang terjadi untuk
kedua kalinya, talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan lagi,
kecuali pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain
kemudian terjadi perceraian ba’da al
dukhul dan habis masa ‘iddahnya;
d. Talak suny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak
yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu
suci itu;
e. Talak bad’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak
yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada
waktu suci tersebut (Pasal 118 sampai dengan pasal 122 Inpres Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam).[34]
Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal
39 Ayat 1). Maksud pasal ini adalah untuk mempersulit perceraian, mengingat
tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.[35]
I.
Akibat Putusnya Perkawinan
Bila
perkawinan putus karena perceraian, bekas suami-istri yang bersangkutan yang
merupakan ayah dan ibu dari anak-anaknya, tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata untuk kepentingan anaknya.[36]
Bila terjadi
perselisihan mengenai anak-anak tersebut, pengadilan memberikan keputusan ikut
bersama siapa anak-anak itu (Pasal 1 ayat 1).
Meskipun
anak-anak itu ikut bersama ibunya, tetapi ayahnya bertanggung jawab sepenuhnya
atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Kecuali bilamana
ayah dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut (Pasal 4 ayat 2).
Pengadilan
dapat juga mewajibkan bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya (Pasal 41 ayat 3).
Kemudian
mengenai harta bersama akibat putusya perkawinan, sebagaimana telah
diterangkan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 37 menyerahkan pengaturannya
kepada masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.[37]
[2] Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Cet. III, (PT Alumni, Bandung, 2005)
[3] Perpindahan wali dari wali yang satu ke wali yang lain
[4] Salim, Op. Cit,.
[5] Zulfa Djoko Basuki,Kompilasi Bidang Hukum Kekeluargaan,( Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta:2009)
[6] Hilman Hadi Kusuma, Op Cit,
[13] Zulfa Djoko Basuki, Op. Cit.
[14] Komariah, Hukum
Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002)
[15] K. Wantjik Saleh, Hukum
Perkawinan Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1976)
[16] Riduan Syahrani, Seluk
beluk Asas-asas hukum perdata, (Banjarmasin; PT. Alumni, 2006)
[17] bid,
[18] Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta; Sinar Grafika,
2002)
[19] Riduan Syahrani, Loc.
Cit.
[20] Komariah, Hukum
Perdata, Loc. Cit.
[21] Riduan Syahrani,seluk beluk asas-asas
hukum perdata,(Banjarmasin:P.T. Alumni:2006)
[23] Pasal 30 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[24] Pasal 31 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran, Negara RI
Tahun 1974 No. 1
[30] Ibid,
[32] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.
[33] Ibid.
[34] Ibid,
[35] Komariah, Loc.
Cit.
[36] Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin agar
anak-anak tidak menjadi korban perceraian kedua orang tuanya. Selanjutnya dapat
dilihat dalam PAsal 8 pp No. 10/1983 untuk pegawai negeri sipil.
[37] Riduan Syahrani, Loc.
Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar