Selasa, 23 Januari 2018

KESIMPULAN KAIDAH AL-TASYRI’IYAH


KESIMPULAN



1.    KAIDAH USHULIYAH
Kaidah dalam bahasa Arab, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Urgensi kaidah ushuliyah qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan.
a.    Jenis jenis 
Ø Kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk mengamalkannya.
Artinya : “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat : 43
Arti dari surat Al-Baqarah ayat 43 yaitu Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.
Ø Kaidah kedua :
Artinya : “Asal dari perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
Ø Kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
Artinya : “Asal dari larangan itu hukumnya haram.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 11.

b.    Contoh
a)    Kaidah : Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”
b)   Kaidah : Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
c)    Kaidah : Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.
d)   Kaidah : Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
e)    Kaidah : Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya

2.    KAIDAH  AL-TASYRI’IYAH
Kata tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’ wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna terutama dalam proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar ada dua macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).
Ø Qanun tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’.
Ø Qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu.

a.    Urgensi
Tiga macam tujuan umum perundang-undangan yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
a)    Untuk memelihara Al-Umurudh-dharuriyah dalam kehidupan manusia.
b)   Untuk memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam kehidupan manusia.
c)    Untuk merealisir Al-Umurut-tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus

b.    Beberapa Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami” dijelaskan bahwa ada beberapa kaidah perundang-undangan. Antara lain:
a)   Al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
b)   Peristiwa yang sudah ditunjuk oleh nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
c)   Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun ijtihad fardi (perseorangan).
d)   Keputusan dari ijtihad-jama’i (kolektif) harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil pendapat dari ijtihad-fardi (perseorangan).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar