KESIMPULAN
1.
KAIDAH
USHULIYAH
Kaidah
dalam bahasa Arab, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang
mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id.
Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil
sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil
syara’, titik tolak pengambilan dalil, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar
pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang
memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan
dan kesusastraan Arab.
Urgensi
kaidah ushuliyah qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti
ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah
ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap
peristiwa hukum yang dihadapinya.
Drs.
Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting
karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan
hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah
merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum
Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan.
a. Jenis
jenis
Ø Kaidah
ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf
untuk mengamalkannya.
Artinya
: “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah ayat : 43
Arti
dari surat Al-Baqarah ayat 43 yaitu Dan
dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.
Ø Kaidah
kedua :
Artinya : “Asal dari
perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
Ø Kaidah
ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
Artinya : “Asal dari larangan
itu hukumnya haram.
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah ayat 11.
b. Contoh
a) Kaidah
: Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka
didahulukan dalil yang melarang.”
b) Kaidah
: Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
c) Kaidah
: Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.
d) Kaidah
: Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
e) Kaidah
: Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya
2.
KAIDAH AL-TASYRI’IYAH
Kata
tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara
lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan
perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’
wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh
manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Dari
definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna
terutama dalam proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis
besar ada dua macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun
ijra’i (peraturan prosedural).
Ø Qanun
tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum
syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum
syara’.
Ø Qanun
ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan
dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk
melaksanakan hukum syara’ tertentu.
a. Urgensi
Tiga macam tujuan umum
perundang-undangan yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
a)
Untuk memelihara Al-Umurudh-dharuriyah
dalam kehidupan manusia.
b)
Untuk memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam
kehidupan manusia.
c)
Untuk merealisir Al-Umurut-tahsiniyah,
yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi
oleh adat kebiasaan yang bagus
b. Beberapa
Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh-Islami” dijelaskan bahwa ada beberapa kaidah perundang-undangan.
Antara lain:
a) Al-Qur’an
adalah sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
b) Peristiwa
yang sudah ditunjuk oleh nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh
ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
c) Peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya
ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun
ijtihad fardi (perseorangan).
d) Keputusan
dari ijtihad-jama’i (kolektif) harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil
pendapat dari ijtihad-fardi (perseorangan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar