Senin, 22 Januari 2018

HUKUM REKONPENSI DAN PEMBUKTIAN

REKONPENSI DAN PEMBUKTIAN
Diajukan untuk Memenuhi Mengikuti Salah Satu Tugas Semester IV
Dosen : Taufikkurrohman
Mata kuliah : Hukum Acara Perdata



                                                                       Disusun oleh  :          

Ade Priyatna Baskara
Agus Bachiar setiawan
Agus Priyanto


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS PAMULANG
2014







KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok ini, setelah melalui banyak ujian dan rintangan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad SAW.
Setelah melalui perjuangan  yang sangat melelahkan, dan telah menguras banyak waktu, fikiran, tenaga, bahkan materi, akhirnya makalah ini dapat kami selesaikan untuk memenuhi syarat tugas kelompok. kami sangat bersyukur kepada Allah SWT, karena telah memberikan banyak rahmat dan kesabaran dalam proses penulisan makalah ini. kami semakin menyadari bahwa dalam melakukan hal apapun dibutuhkan ketekunan, kesabaran, dan ketelitian.
Dalam makalah ini kami  mengangkat wacana Rekonpensi dan Pembuktian. Namun demikian, kami menyadari bahwa apa yang telah kami hasilkan dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itulah kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan analisis yang kami sajikan dalam makalah ini.
Semoga makalah yang telah kami selesaikan ini memberikan manfaat yang besar bagi umat islam dan bangsa Indonesia, khususnya bagi  kita semua.

Pamulang, 10 Agustus 2014
Penyusun



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang dan Masalah.............................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................... 2
C.     Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
1.    REKONPENSI
A.      Pengertian Rekonpensi................................................................ 3
B.       Pengertian Dasar Hukum............................................................ 3
C.       Tujuan Rekonpensi...................................................................... 4
D.      Syarat Gugatan Rekonpensi........................................................ 5
E.       Muatan Rekonpensi..................................................................... 5
2.        PEMBUKTIAN
A.    Pengertian Pembuktian................................................................. 7
B.     Pengertan Hukum Pembuktian..................................................... 7
C.     Asas Hukum Pembuktian............................................................. 8
D.    Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian....................................... 9
E.     Hal-Hal yang Perlu dan Tidak Dibuktikan................................... 10
F.      Teori-Tentang Beban Pembuktian................................................ 11

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................... 13
B.     Saran.................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................   14








BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dalam peradilan yang memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pada pembuktian di tentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Apabila bukti yang disampaikan di pengadilan tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka tersangka akan dibebaskan. Namun apabila bukti yang disampaikan mencukupi maka tersangka dapat dinyatakan bersalah. Karenanya proses pembuktian merupakan proses yang penting agar jangan sampai orang yang bersalah dibebaskan karena bukti yang tidak cukup. Atau bahkan orang yang tidak bersalah justru dinyatakan bersalah.
Sistem pembuktian dari satu negara ke negara lainnya tentunya berbeda. Hal tersebut biasanya disesuaikan dengan budaya atau paham yang dianut negara tersebut. Pada umumnya sistem pembuktian di suatu negara dibedakan berdasarkan negara yang menganut paham civil law dan negara yang menganut common law. Selain itu juga didasarkan pada beberapa teori sistem pembuktian. Dalam teorinya, sistem pembuktian dapat dibagi menjadi empat teori yaitu sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. .[1] Untuk melihat sistem pembuktian di negara lain maka akan dilihat perbandingan dengan beberapa negara lain yaitu negara Belanda yang menganut civil law, Australia yang menganut common law, dan sistem pembuktian dalam hukum islam yang berbeda dengan empat teori sistem pembuktian menurut Prof.Dr.  Andi Hamzah SH. 
Tidak hanya sistem pembuktian saja yang berbeda, beban pembuktian pun berbeda-beda yang bergantung kepada sistem pembuktian tersebut. Selain berdasarkan sistem pembuktian, beban pembuktian yang digunakan juga dapat ditentukan dari jenis tindak pidana seperti tindak pidana korupsi di Indonesia. Beban pembuktian dalam perspektif hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu beban pembuktian umum/konvensional, beban pembuktian terbalik dan beban pembuktian berimbang.

B.      Rumusan Masalah
a.    Apa pengertian dari pembuktian dan rekonpensi ?
b.    Apa tujuan rekonpensi ?
c.    Apa saja syarat gugatan rekonpensi ?
d.   Apa pengertian pembuktian ?
C.       Tujuan Makalah
a.    Untuk mengetahui pengertian pembuktian dan rekonpensi
b.    Menjelaskan rekonpensi
c.    Menjelaskan gugatan rekonpensi
d.   Menjelaskan pembuktian.




BAB II
PEMBAHASAN
                                
1.  REKONPENSI
A.      Pengertian Rekonvensi

Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya
Dasar hukum:
Ø Reglement Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941

B.       Pengertian Dasar Hukum
Dasar hukum adalah norma hukum atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar bagi setiap penyelenggaraan atau tindakan hukum oleh subyek hukum baik orang perorangan atau badan hukum. Selain itu dasar hukum juga dapat berupa norma hukum atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih baru dan atau yang lebih rendah derajatnya dalam hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Bentuk yang disebut terakhir ini juga biasanya disebut sebagai landasan yuridis yang biasanya tercantum dalam considerans peraturan hukum atau surat keputusan yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga tertentu.
 Dasar hukum dalam pembentukan Surat keputusan merupakan sesuatu yang penting karena menunjukkan darimana kewenangan seorang pejabat atau lembaga tertentu mendapatkan legitimasi untuk membuat surat keputusan itu. Demikian halnya dengan dasar hukum yang biasanya disebutkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang dimaksud tersebut adalah merujuk darimana perintah untuk membuat pengaturan tersebut diperoleh oleh suatu peraturan daerah dan atau darimana sumber kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga tertentu untuk membuat produk perundang-undangan yang sebagaimana dimaksud.
Setiap penyelenggaraan tugas, fungsi dan wewenang oleh lembaga-lembaga negara harus memiliki dasar hukum atau paling tidak tindakan atau penyelenggaraan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C.       Tujuan Rekonpensi
  1. Menggabungkan dua tuntutan yang berbeda
  2. Mempermudah prosedur
  3. Menghindari putusan-putusan yang saling bertentangan
  4. Menetralisir tuntutan konvensi
  5. Acara pembuktian dapat disederhanakan
  6. Menghemat biaya
Dengan dimungkinkannya pihak Tergugat mengajukan gugat rekonvensi kepada Penggugat, maka Tergugat tidak perlu mengajukan gugat baru, gugatan rekonvensi ini cukup diajukan bersama-sama dengan jawaban terhadap gugatan. Jadi dalam gugatan itu ada gugatan yang saling berlawanan yaitu gugatan konvensi (gugat asal) dan gugatan rekonvensi (gugat balik).
Dalam gugatan konvensi Penggugatnya adalah Penggugat asal, dan Tergugatnya adalah Tergugat asal, sedangkan dalam gugat rekonvensi Penggugatnya adalah Tergugat atau salah seorang dari Tergugat asal yang disebut Penggugat dalam rekonvensi
D.        Syarat Gugatan Rekonvensi
Diajukan di muka persidangan Pengadilan Agama, yakni:
a.   Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama oleh Tergugat baik tertulis maupun dengan lisan. Namun menurut Wiryono Projodikoro, gugatan rekonvensi masih dapat diajukan dalam acara jawab menjawab dan sebelum acara pembuktian.
b.    Tidak dapat diajukan dalam tingkat banding, bila dalam tingkat pertama tidak diajukan.
c.    Penyusunan gugatan rekonvensi sama dengan gugatan konvensi.
Menurut ketentuan Pasal 132 (a) HIR dan Pasal 157 R.Bg dalam setiap gugatan, tergugat dapat mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu:
a.    Penggugat dalam Kualitas yang Berbeda
Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penggugat bertindak dalam suatu kualitas (sebagai kuasa hukum), sedangkan rekonvensinya ditujukan kepada diri pribadi penggugat (pribadi kuasa hukum tersebut).
b. Pengadilan yang Memeriksa Konvensi tidak Berwenang memeriksa Gugatan rekonvensi gugatan rekonvensi tidak diperbolehkan terhadap perkara yang tidak menjadi wewenang Pengadilan Agama, seperti suami menceraikan isteri, isteri mengajukan rekonvensi, mau cerai dengan syarat suami membayar hutangnya kepada orang tua isteri tersebut. Masalah sengketa utang-piutang bukan kewenangan Pengadilan Agama.

E.       Muatan Rekonpensi
Hal--Hal yang harus dimuat dalam surat gugatan;
1.  HIR n Rbg hanya mengatur tentang cara mengajukan Gugatan, tetapi tidak mengatur mengenai persyaratan mengenai isi Gugatan/yang harus dimuat dalam gugatan.
2.  Kekurangan tsb diatasi dengan ketentuan ps. 119 HIR (ps 143 Rbg) yg memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi nasehat dan bantuan kepada pihak Penggugat dalam mengajukan Gugatan.
3.    Persyaratan mengenai isi gugatan diatur dalam ps. 8 no. 3 Rv yg mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat :
a.    Identitas para pihak; Identitas para pihak meliputi, ciri Identitas para pihak meliputi, ciri--ciri penggut dan tergugat, seperti nama, tempat tinggal, jenis kelamin, status nikah dll.
b.   Dalil identitas para pihak;  dalil konrit tentangg adanya  hubungan hukum yg mirip dasar serta alasan--alasan tuntutan  (fundamentum petendi); Fundamentum petendi atau dasar tuntutan, memuat dua hal,;
Þ Bagian yang mengurai tentang kejadia--kejadian atau kejadian atau peristiwa.
Þ Bagian yang menguraikan tentang peristiwa, Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara/kasus posisi;
a.    Bagian yang menguraikan tentang hukum.
b.    Uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan.
c.    Yang dimuat disini bukanlah pasal dari peraturan perundang undangan tetapi hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di  persidangan yang memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu. Putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Maret 1972 No.547K/Sip/1971, al menyebutkan bahwa perumusan kejadian materiil secara singkat sudah memenuhi syarat.
c.    Tuntutan (petitum)
Selain tutntutan pokok yaitu tuntutan yang diminta masi adaTutuntan tambahan yaitu;;
1.      Tuntutan agar Tergugat membayar ganti rugi(vide ps. 181 ayat 1 & 3 HIR, 192 ayat 1 & 4 Rbg
2.  Tuntutan agar putusan putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dulu (uitvoerbaar bijbij vooraadvooraad) vide ps. 128 ayat  1 & ps. 180  ayat 1 HIR, ps. 152  1 HIR, ps. 152 ayat ayat 1 & 191 ayat 1 Rbg, ps. 84 , Ayat 2 & 346 Rv;
3.  Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) apabila tuntutan yang dimintakan oleh Pengguat berupa pembayara sejumlah uang tertentu tertentu (ps. 1250 BW) berdasarkan S.1848 no. 22  besarnya bunga berjumlah 6 %)
4.  Tuntutan agar Tergugat membayar uang paksa (astrinte, dwangsom. Apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang, mkmk dapat ditentukan bahwa pihak yang  dikalahkan dihukum ditentukan bahwa pihak pihak yang  dikalahkan dihukum untuk membayar uang paksan selama iaia tidak memenuhi isiisi putusan, vide ps , vide ps. 606 a & b RvRv
5.       Tuntutan akan nafkah bagi isteri atau pembagian harta UU No. 1 Thn 1974.
4.    Petitum atautuntutan, , yaitu apa yang diminta oleh  Penggugat atau diharapkan agar diputus oleh hakim. karena itu Penggugat harus merumuskan dengan dan Tegas vide ps. 8 Rv.
5.     Mahkamah Agung dalam Putusannya tgl 16 1970 No. 492K/Sip/1970, al. Mengatakan Bahwa Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat diterimanya tuntutan tersebut.

2.  PEMBUKTIAN
A.      Pengertian pembuktian
Pembuktian adalah salah satu kunci utama dalam proses persidangan untuk mengungkap fakta hukum. Dalam melakukan pembuktian, harus diperhatikan asas-asas terkait hukum pembuktian tersebut. 
B.       Pengertian Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Menurut hemat penulis,yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata,acara pidana, maupun acara-acara yang lainnya, dimana dengan mengunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang disengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang yang dinyatakan itu.
C.      Asas Hukum Pembuktian
1.    Asas Audi Et Alteram Partem; adalah asas kesamaan proses dan para pihak yang berperkara. Berdasarkan asas ini, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan sebelum memberi kesempatan untuk mendengarkan kedua pihak. Hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua pihak tetap sama.
2.     Asas Ius Curia Novit; bahwa Hakim selalu difiksikan mengetahui akan hukumnya dari setiap kasus yang diadilinya. Hakim sama sekali tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara hingga putus dengan alasan tidak ada dasar hukumnya.
3.    Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa; bahwa tidak seorangpun vang dapat menjadi saksi atas perkaranya sendiri. Sehingga berdasarkan asas ini, baik pihak penggugat atau pun pihak tergugat tidak mungkin tampil sebagai saksi dalam persengketaan antara mereka sendiri.
4.  Asas Ne Ultra Petita; bahwa hakim hanya boleh mengabulkan sesuai apa yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut. Sehingga dalam pembuktian hakim tidak boleh membuktikan lebih daripada apa yang dituntut oleh penggugat.
5.    Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet; asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan lebih banyak hak dari pada apa yang dimilikinya.
6.  Asas Negativa Non Sunt Probanda; bahwa sesuatu yang bersifat negatif itu tidak dapat dibuktikan. Yang dimaksud sebagai sesuatu yang bersifat negatif adalah yang menggunakan perkataan "TIDAK", misalnya : tidak berada di Jakarta, tidak merusak tanaman, tidak berutang kepada si A, dan lain-lain. Namun yang negatif ini dapat dibuktikan secara tidak langsung.
7.   Asas Actori Incumbit Probatio; bahwa asas ini terkait dengan beban pembuktian. Asas ini berarti bahwa barangsiapa yang mempunyai suatu hak atau menyangkali adanya hak orang lain, harus membuktikannya. Hal ini berarti bahwa dalam hal pembuktian yang diajukan penggugat dan tergugat sama-sama kuat, maka baik penggugat maupun tergugat ada kemungkinan dibebani dengan pembuktian oleh hakim.
8.    Asas Yang Paling Sedikit Dirugikan; bahwa hakim harus membebani pembuktian bagi pihak yang paling sedikit dirugikan jika harus membuktikan. Asas ini sering dihubungkan dengan asas Negativa non sunt probanda. Jadi yang dianggap pihak yang paling dirugikan jika harus membuktikan adalah pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif.
9.    Asas Bezitter Yang Beriktikad Baik; bahwa iktikad baik selamanya harus dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu benda dan barang siapa menggugat akan adanya iktikad buruk bezittter itu harus membuktikannya (lihat pasal 533 BW).
10.  Asas Yang Tidak Biasa Harus Membuktikan; bahwa barangsiapa yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan sesuatu yang tidak biasa itu.

D.      Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain.
a.    Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b.    Teori hukum subyektif  
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
c.    Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
d.   Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
e.    Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.

Yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara perdata bukanlah hukumnya, melainkan peristiwanya atau hubungan hukumnya. Hukum Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan tidak perlu diajukan atau dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan titerapkan,  baik hukum yamg tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Dalam perkara perdata hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa yang disampaikan pihak-pihak berperkara, kemudian memisahkan mana peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus di buktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Misalnya:
Dalam perkara hutang-piutang tidaklah relevan bagi hukum tentang warna baju yang dipakai oleh penggugat dan tergugat pada waktu mengadakan perjanjian hutang-piutang tersebut. Yang relevan adalah apakah antara penggugat dan tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian hutang-piutang dan sah menurut hukum?
Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam perkara perdata adalah :
Þ    Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak  dan diakui oleh pihak lawan. Misalnya dalam perkara utang-piutang dimana penggugat menyatakan tergugat belum membayar utangnya kepada penggugat, kemudian tergugat mengakui maka penggugat tidak perlu membuktikan adanya utang-piutang tersebut.
Þ    Segala sesuatu yang dilihat hakim sendiri didepan sidang pengadilan, misalnya hakim telah melihat sendiri didepan sidang pengadilan barang yang dibeli penggugat mengandung cacat yang tersembunyi, atau merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek atau cap dagang yang dipakai penggugat yang lebih dahulu didaftarkan, atau bagian tubuh  yang cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
Þ    Segala sesuatu yang dianggap  diketahui oleh umum (notoire feiten). Misalnya harga emas lebih mahal dari harga tembaga.
Þ    Segala sesuatu yang diketahui oleh hakim karena pengetahuannya sendiri. Misalnya dalam dunia perdagangan sudah lazim bahwa perantara mendapat komisi
F.       Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu
a.         Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b.        Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
c.         Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).














BAB III
KESIPULAN

Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.
Tujuan rekonpensi
~     Menggabungkan dua tuntutan yang berbeda
~     Mempermudah prosedur
~     Menghindari putusan-putusan yang saling bertentangan
~     Menetralisir tuntutan konvensi
~     Acara pembuktian dapat disederhanakan
~     Menghemat biaya
Pembuktian adalah salah satu kunci utama dalam proses persidangan untuk mengungkap fakta hukum. Dalam melakukan pembuktian, harus diperhatikan asas-asas terkait hukum pembuktian tersebut.
Saran
Alhamdulillah puji syukur kehadirat tuhan atas selesainya makalah yang kami buat ini, masih banyak kesalahan penulisan dari kelompok kami, karna kami manusia tempat salah dan dosa: dalam hadist “al insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh saran/kritikkan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya, kemudian untuk saran kepada pembaca silahkan gunakan makalah ini sebagai salah satu sumber ilmu yang dapat bermanfaat dikemudian hari.




DAFTAR PUSTAKA
Munir Fuandy, Teori Hukum Pembuktian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Retnowulon S dan Iskandar,, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: C.V Mandar Maju, 2005
Sudiknomertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:  Sinar Grafika 2011) 684




Tidak ada komentar:

Posting Komentar