REKONPENSI DAN PEMBUKTIAN
Diajukan
untuk Memenuhi Mengikuti Salah Satu Tugas Semester IV
Dosen
: Taufikkurrohman
Mata kuliah :
Hukum Acara Perdata
Disusun oleh :
Ade Priyatna
Baskara
Agus Bachiar
setiawan
Agus Priyanto
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS PAMULANG
2014
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji
syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang diberikan
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok ini, setelah
melalui banyak ujian dan rintangan. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah pada Nabi Muhammad SAW.
Setelah melalui
perjuangan yang sangat melelahkan, dan
telah menguras banyak waktu, fikiran, tenaga, bahkan materi, akhirnya makalah
ini dapat kami selesaikan untuk memenuhi syarat tugas kelompok. kami sangat
bersyukur kepada Allah SWT, karena telah memberikan banyak rahmat dan kesabaran
dalam proses penulisan makalah ini. kami semakin menyadari bahwa dalam melakukan
hal apapun dibutuhkan ketekunan, kesabaran, dan ketelitian.
Dalam makalah ini
kami mengangkat wacana Rekonpensi dan
Pembuktian. Namun demikian, kami menyadari bahwa apa yang telah kami hasilkan
dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itulah kritik dan saran
sangat kami harapkan demi kesempurnaan analisis yang kami sajikan dalam makalah
ini.
Semoga makalah yang
telah kami selesaikan ini memberikan manfaat yang besar bagi umat islam dan
bangsa Indonesia ,
khususnya bagi kita semua.
Pamulang, 10 Agustus 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan
Masalah.............................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
1.
REKONPENSI
A. Pengertian
Rekonpensi................................................................ 3
B. Pengertian Dasar
Hukum............................................................ 3
C. Tujuan Rekonpensi...................................................................... 4
D. Syarat Gugatan
Rekonpensi........................................................ 5
E. Muatan Rekonpensi..................................................................... 5
2.
PEMBUKTIAN
A. Pengertian
Pembuktian................................................................. 7
B. Pengertan Hukum
Pembuktian..................................................... 7
C. Asas Hukum
Pembuktian............................................................. 8
D. Teori-Teori Tentang
Beban Pembuktian....................................... 9
E. Hal-Hal yang Perlu
dan Tidak Dibuktikan................................... 10
F. Teori-Tentang Beban Pembuktian................................................ 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 13
B. Saran.................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembuktian
merupakan salah satu rangkaian dalam peradilan yang memegang peranan penting.
Hal ini disebabkan pada pembuktian di tentukan bersalah atau tidaknya
seseorang. Apabila bukti yang disampaikan di pengadilan tidak mencukupi atau
tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka tersangka akan dibebaskan. Namun
apabila bukti yang disampaikan mencukupi maka tersangka dapat dinyatakan
bersalah. Karenanya proses pembuktian merupakan proses yang penting agar jangan
sampai orang yang bersalah dibebaskan karena bukti yang tidak cukup. Atau
bahkan orang yang tidak bersalah justru dinyatakan bersalah.
Sistem
pembuktian dari satu negara ke negara lainnya tentunya berbeda. Hal tersebut
biasanya disesuaikan dengan budaya atau paham yang dianut negara tersebut. Pada
umumnya sistem pembuktian di suatu negara dibedakan berdasarkan negara yang
menganut paham civil law dan negara yang menganut common law. Selain itu juga
didasarkan pada beberapa teori sistem pembuktian. Dalam teorinya, sistem
pembuktian dapat dibagi menjadi empat teori yaitu sistem teori pembuktian
berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan keyakinan hakim saja,
berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan yang logis, dan
berdasarkan undang-undang negatif. .[1]
Untuk melihat sistem pembuktian di negara lain maka akan dilihat perbandingan
dengan beberapa negara lain yaitu negara Belanda yang menganut civil law,
Australia yang menganut common law, dan sistem pembuktian dalam hukum islam
yang berbeda dengan empat teori sistem pembuktian menurut Prof.Dr. Andi Hamzah SH.
Tidak
hanya sistem pembuktian saja yang berbeda, beban pembuktian pun berbeda-beda
yang bergantung kepada sistem pembuktian tersebut. Selain berdasarkan sistem
pembuktian, beban pembuktian yang digunakan juga dapat ditentukan dari jenis
tindak pidana seperti tindak pidana korupsi di Indonesia. Beban pembuktian
dalam perspektif hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu beban pembuktian
umum/konvensional, beban pembuktian terbalik dan beban pembuktian berimbang.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian dari
pembuktian dan rekonpensi ?
b.
Apa tujuan rekonpensi ?
c.
Apa saja syarat gugatan
rekonpensi ?
d.
Apa pengertian pembuktian ?
C.
Tujuan Makalah
a.
Untuk mengetahui pengertian
pembuktian dan rekonpensi
b.
Menjelaskan rekonpensi
c.
Menjelaskan gugatan
rekonpensi
d.
Menjelaskan pembuktian.
BAB II
PEMBAHASAN
1. REKONPENSI
A.
Pengertian Rekonvensi
Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal.
468) istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang
maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan
balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Dalam penjelasan
Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan
untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat,
maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup
dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap
gugatan lawannya
Dasar hukum:
Ø Reglement Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement)
Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941
B.
Pengertian Dasar Hukum
Dasar hukum adalah norma hukum atau ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar bagi setiap
penyelenggaraan atau tindakan hukum oleh subyek hukum baik orang perorangan
atau badan hukum. Selain itu dasar hukum juga dapat
berupa norma hukum atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi landasan atau dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang
lebih baru dan atau yang lebih rendah derajatnya dalam hirarki atau tata urutan
peraturan perundang-undangan. Bentuk yang disebut terakhir ini juga biasanya
disebut sebagai landasan yuridis yang biasanya tercantum dalam considerans
peraturan hukum atau surat keputusan yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga
tertentu.
Dasar hukum dalam
pembentukan Surat keputusan merupakan sesuatu yang penting karena menunjukkan
darimana kewenangan seorang pejabat atau lembaga tertentu mendapatkan
legitimasi untuk membuat surat keputusan itu. Demikian halnya dengan dasar
hukum yang biasanya disebutkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
seperti peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Dasar hukum pada peraturan
perundang-undangan yang dimaksud tersebut adalah merujuk darimana perintah
untuk membuat pengaturan tersebut diperoleh oleh suatu peraturan daerah dan
atau darimana sumber kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga tertentu untuk
membuat produk perundang-undangan yang sebagaimana dimaksud.
Setiap penyelenggaraan tugas, fungsi dan wewenang oleh
lembaga-lembaga negara harus memiliki dasar hukum atau paling tidak tindakan
atau penyelenggaraan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan
etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Tujuan Rekonpensi
- Menggabungkan dua tuntutan yang
berbeda
- Mempermudah prosedur
- Menghindari putusan-putusan yang
saling bertentangan
- Menetralisir tuntutan konvensi
- Acara pembuktian dapat
disederhanakan
- Menghemat biaya
Dengan
dimungkinkannya pihak Tergugat mengajukan gugat rekonvensi kepada Penggugat,
maka Tergugat tidak perlu mengajukan gugat baru, gugatan rekonvensi ini cukup
diajukan bersama-sama dengan jawaban terhadap gugatan. Jadi dalam gugatan itu
ada gugatan yang saling berlawanan yaitu gugatan konvensi (gugat asal) dan
gugatan rekonvensi (gugat balik).
Dalam
gugatan konvensi Penggugatnya adalah Penggugat asal, dan Tergugatnya adalah
Tergugat asal, sedangkan dalam gugat rekonvensi Penggugatnya adalah Tergugat
atau salah seorang dari Tergugat asal yang disebut Penggugat dalam rekonvensi
D.
Syarat Gugatan Rekonvensi
Diajukan
di muka persidangan Pengadilan Agama, yakni:
a. Gugatan
rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama oleh Tergugat
baik tertulis maupun dengan lisan. Namun menurut Wiryono Projodikoro, gugatan
rekonvensi masih dapat diajukan dalam acara jawab menjawab dan sebelum acara
pembuktian.
b. Tidak
dapat diajukan dalam tingkat banding, bila dalam tingkat pertama tidak
diajukan.
c. Penyusunan
gugatan rekonvensi sama dengan gugatan konvensi.
Menurut
ketentuan Pasal 132 (a) HIR dan Pasal 157 R.Bg dalam setiap gugatan, tergugat dapat
mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu:
a.
Penggugat dalam Kualitas yang
Berbeda
Rekonvensi tidak boleh
diajukan apabila penggugat bertindak dalam suatu kualitas (sebagai kuasa
hukum), sedangkan rekonvensinya ditujukan kepada diri pribadi penggugat
(pribadi kuasa hukum tersebut).
b. Pengadilan yang Memeriksa Konvensi
tidak Berwenang memeriksa Gugatan rekonvensi gugatan rekonvensi tidak
diperbolehkan terhadap perkara yang tidak menjadi wewenang Pengadilan Agama,
seperti suami menceraikan isteri, isteri mengajukan rekonvensi, mau cerai
dengan syarat suami membayar hutangnya kepada orang tua isteri tersebut.
Masalah sengketa utang-piutang bukan kewenangan Pengadilan Agama.
E. Muatan
Rekonpensi
Hal--Hal yang harus dimuat dalam
surat gugatan;
1. HIR n Rbg
hanya mengatur tentang cara mengajukan Gugatan, tetapi tidak mengatur mengenai
persyaratan mengenai isi Gugatan/yang harus dimuat dalam gugatan.
2. Kekurangan
tsb diatasi dengan ketentuan ps. 119 HIR (ps 143 Rbg) yg memberi
wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi nasehat dan bantuan kepada
pihak Penggugat dalam mengajukan Gugatan.
3. Persyaratan
mengenai isi gugatan diatur dalam ps. 8 no. 3 Rv yg mengharuskan gugatan pada
pokoknya memuat :
a. Identitas para pihak; Identitas para pihak meliputi, ciri Identitas para pihak meliputi,
ciri--ciri penggut dan tergugat, seperti nama, tempat tinggal, jenis kelamin,
status nikah dll.
b. Dalil identitas para pihak; dalil konrit tentangg adanya hubungan hukum yg mirip dasar serta
alasan--alasan tuntutan (fundamentum
petendi); Fundamentum petendi atau
dasar tuntutan, memuat dua hal,;
Þ Bagian yang mengurai
tentang kejadia--kejadian atau kejadian atau peristiwa.
Þ Bagian yang
menguraikan tentang peristiwa, Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan
duduknya perkara/kasus posisi;
a.
Bagian yang menguraikan tentang hukum.
b.
Uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak
atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan.
c.
Yang dimuat disini bukanlah pasal dari peraturan
perundang undangan tetapi hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di persidangan yang memberikan gambaran tentang
kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu. Putusan Mahkamah
Agung tanggal 15 Maret 1972 No.547K/Sip/1971, al menyebutkan bahwa perumusan
kejadian materiil secara singkat sudah memenuhi syarat.
Selain tutntutan pokok yaitu tuntutan yang diminta masi adaTutuntan
tambahan yaitu;;
1.
Tuntutan agar Tergugat membayar ganti
rugi(vide ps. 181 ayat 1 & 3 HIR, 192 ayat 1 & 4 Rbg
2. Tuntutan agar putusan putusan dinyatakan
dapat dilaksanakan lebih dulu (uitvoerbaar bijbij vooraadvooraad) vide ps. 128
ayat 1 & ps. 180 ayat 1 HIR, ps. 152 1 HIR, ps. 152 ayat ayat 1 & 191 ayat 1
Rbg, ps. 84 , Ayat 2 & 346 Rv;
3. Tuntutan agar Tergugat dihukum untuk membayar
bunga (moratoir) apabila tuntutan yang dimintakan oleh Pengguat berupa pembayara
sejumlah uang tertentu tertentu (ps. 1250 BW) berdasarkan S.1848 no. 22 besarnya bunga berjumlah 6 %)
4. Tuntutan agar Tergugat membayar uang paksa (astrinte,
dwangsom. Apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang, mkmk dapat
ditentukan bahwa pihak yang dikalahkan
dihukum ditentukan bahwa pihak pihak yang
dikalahkan dihukum untuk membayar uang paksan selama iaia tidak memenuhi
isiisi putusan, vide ps , vide ps. 606 a & b RvRv
5.
Tuntutan akan nafkah bagi
isteri atau pembagian harta UU No. 1 Thn 1974.
4. Petitum
atautuntutan, , yaitu apa yang diminta oleh
Penggugat atau diharapkan agar diputus oleh hakim. karena itu Penggugat
harus merumuskan dengan dan Tegas vide ps. 8 Rv.
5. Mahkamah Agung dalam Putusannya
tgl 16 1970 No. 492K/Sip/1970, al. Mengatakan Bahwa Tuntutan yang tidak jelas
atau tidak sempurna dapat berakibat diterimanya tuntutan tersebut.
2. PEMBUKTIAN
A.
Pengertian pembuktian
Pembuktian adalah salah satu kunci utama dalam proses
persidangan untuk mengungkap fakta hukum. Dalam melakukan pembuktian, harus
diperhatikan asas-asas terkait hukum pembuktian tersebut.
B.
Pengertian Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang
pembuktian. Menurut hemat penulis,yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu
hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata,acara pidana, maupun
acara-acara yang lainnya, dimana dengan mengunakan alat-alat bukti yang sah,
dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta
atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang disengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam
proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang yang dinyatakan itu.
C. Asas Hukum Pembuktian
1. Asas Audi
Et Alteram Partem; adalah asas kesamaan proses dan para pihak yang berperkara.
Berdasarkan asas ini, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan sebelum memberi
kesempatan untuk mendengarkan kedua pihak. Hakim harus adil dalam memberikan
beban pembuktian pada pihak yang berperkara agar kesempatan untuk kalah atau
menang bagi kedua pihak tetap sama.
2. Asas Ius Curia Novit; bahwa Hakim
selalu difiksikan mengetahui akan hukumnya dari setiap kasus yang diadilinya.
Hakim sama sekali tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara hingga putus
dengan alasan tidak ada dasar hukumnya.
3. Asas Nemo
Testis Indoneus In Propria Causa; bahwa tidak seorangpun vang dapat menjadi
saksi atas perkaranya sendiri. Sehingga berdasarkan asas ini, baik pihak
penggugat atau pun pihak tergugat tidak mungkin tampil sebagai saksi dalam
persengketaan antara mereka sendiri.
4. Asas Ne
Ultra Petita; bahwa hakim hanya boleh mengabulkan sesuai apa yang dituntut.
Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut. Sehingga dalam
pembuktian hakim tidak boleh membuktikan lebih daripada apa yang dituntut oleh
penggugat.
5. Asas Nemo
Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet; asas ini menentukan bahwa
tidak ada orang yang dapat mengalihkan lebih banyak hak dari pada apa yang
dimilikinya.
6. Asas Negativa
Non Sunt Probanda; bahwa sesuatu yang bersifat negatif itu tidak dapat
dibuktikan. Yang dimaksud sebagai sesuatu yang bersifat negatif adalah yang
menggunakan perkataan "TIDAK", misalnya : tidak berada di Jakarta,
tidak merusak tanaman, tidak berutang kepada si A, dan lain-lain. Namun yang
negatif ini dapat dibuktikan secara tidak langsung.
7. Asas Actori
Incumbit Probatio; bahwa asas ini terkait dengan beban pembuktian. Asas ini
berarti bahwa barangsiapa yang mempunyai suatu hak atau menyangkali adanya hak
orang lain, harus membuktikannya. Hal ini berarti bahwa dalam hal pembuktian
yang diajukan penggugat dan tergugat sama-sama kuat, maka baik penggugat maupun
tergugat ada kemungkinan dibebani dengan pembuktian oleh hakim.
8. Asas Yang
Paling Sedikit Dirugikan; bahwa hakim harus membebani pembuktian bagi pihak
yang paling sedikit dirugikan jika harus membuktikan. Asas ini sering
dihubungkan dengan asas Negativa non sunt probanda. Jadi yang dianggap pihak
yang paling dirugikan jika harus membuktikan adalah pihak yang harus membuktikan
sesuatu yang negatif.
9. Asas Bezitter
Yang Beriktikad Baik; bahwa iktikad baik selamanya harus dianggap ada pada
setiap orang yang menguasai sesuatu benda dan barang siapa menggugat akan
adanya iktikad buruk bezittter itu harus membuktikannya (lihat pasal 533
BW).
10. Asas Yang
Tidak Biasa Harus Membuktikan; bahwa barangsiapa yang menyatakan sesuatu yang
tidak biasa, harus membuktikan sesuatu yang tidak biasa itu.
D.
Teori-Teori
Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas
diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan
oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak
untuk mengajukan alat-alat buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat
beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman
bagi hakim, antara lain.
a.
Teori
pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang
mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang
menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b.
Teori hukum
subyektif
Menurut teori ini suatu proses
perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan
mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai
suatu hak harus membuktikannya.
c.
Teori hukum
obyektif
Menurut teori ini, mengajukan
gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim
menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan.
Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang
diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa
itu.
d.
Teori hukum
publik
Menurut teori ini maka mencari
kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh
karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari
kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik,
untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai
sanksi pidana.
e.
Teori hukum
acara
Asas audi et alteram partem
atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim
merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Hakim harus membagi beban
pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan
menang antara para pihak adalah sama.
Yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara
perdata bukanlah hukumnya, melainkan peristiwanya atau hubungan hukumnya. Hukum
Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan tidak perlu diajukan atau
dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara, karena hakim dianggap telah
mengetahui hukum yang akan titerapkan, baik hukum yamg tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Dalam perkara perdata hakim harus melakukan pengkajian
terhadap peristiwa-peristiwa yang disampaikan pihak-pihak berperkara, kemudian
memisahkan mana peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak (irrelevant).
Peristiwa yang penting itulah yang harus di buktikan, sedangkan peristiwa yang
tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Misalnya:
Dalam perkara hutang-piutang
tidaklah relevan bagi hukum tentang warna baju yang dipakai oleh penggugat dan
tergugat pada waktu mengadakan perjanjian hutang-piutang tersebut. Yang relevan
adalah apakah antara penggugat dan tergugat pada waktu dan tempat tertentu
benar-benar mengadakan perjanjian hutang-piutang dan sah menurut hukum?
Hal-hal yang
tidak perlu dibuktikan dalam perkara perdata adalah :
Þ
Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu
pihak dan diakui oleh pihak lawan. Misalnya dalam perkara utang-piutang
dimana penggugat menyatakan tergugat belum membayar utangnya kepada penggugat,
kemudian tergugat mengakui maka penggugat tidak perlu membuktikan adanya
utang-piutang tersebut.
Þ
Segala sesuatu yang dilihat hakim sendiri didepan
sidang pengadilan, misalnya hakim telah melihat sendiri didepan sidang
pengadilan barang yang dibeli penggugat mengandung cacat yang tersembunyi, atau
merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek
atau cap dagang yang dipakai penggugat yang lebih dahulu didaftarkan, atau
bagian tubuh yang cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
Þ
Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umum
(notoire feiten). Misalnya harga emas lebih mahal dari harga tembaga.
Þ
Segala sesuatu yang diketahui oleh hakim karena
pengetahuannya sendiri. Misalnya dalam dunia perdagangan sudah lazim bahwa
perantara mendapat komisi
F. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Berhubung dengan menilai
pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai
satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782
HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta
yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165
HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
Terdapat 3 (tiga) teori yang
menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim
atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang,
yaitu
a.
Teori
Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim,
sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini
dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran
wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b.
Teori
Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur
larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan
pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
c.
Teori
Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada
hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg,
1870 BW).
BAB III
KESIPULAN
Menurut M.
Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468)
istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya
rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan
terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.
Tujuan rekonpensi
~ Menggabungkan
dua tuntutan yang berbeda
~ Mempermudah
prosedur
~ Menghindari
putusan-putusan yang saling bertentangan
~ Menetralisir
tuntutan konvensi
~ Acara pembuktian
dapat disederhanakan
~ Menghemat biaya
Pembuktian adalah salah satu kunci utama dalam proses
persidangan untuk mengungkap fakta hukum. Dalam melakukan pembuktian, harus
diperhatikan asas-asas terkait hukum pembuktian tersebut.
Saran
Alhamdulillah
puji syukur kehadirat tuhan atas selesainya makalah yang kami buat ini, masih
banyak kesalahan penulisan dari kelompok kami, karna kami manusia tempat salah
dan dosa: dalam hadist “al insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh
saran/kritikkan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik
dari masa sebelumnya, kemudian untuk saran kepada pembaca silahkan gunakan
makalah ini sebagai salah satu sumber ilmu yang dapat bermanfaat dikemudian
hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Munir
Fuandy, Teori Hukum Pembuktian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Retnowulon S
dan Iskandar,, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: C.V
Mandar Maju, 2005
Sudiknomertokusumo,
Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:
Sinar Grafika 2011) 684
Tidak ada komentar:
Posting Komentar