KHAIDAH-KHAIDAH HUKUM ISLAM
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Hukum Islam Semester V
Dosen
: SAN RIDWAN MAULANA, SSI, Spdi,
MM
Disusun oleh :
Agus Priyanto
Mita Tisane Gusti
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS PAMULANG
2014
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah,
puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang diberikan
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok ini, setelah
melalui banyak ujian dan rintangan. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah pada Nabi Muhammad SAW.
Setelah
melalui perjuangan yang sangat
melelahkan, dan telah menguras banyak waktu, fikiran, tenaga, bahkan materi,
akhirnya makalah ini dapat kami selesaikan untuk memenuhi syarat tugas
kelompok. kami sangat bersyukur kepada Allah SWT, karena telah memberikan
banyak rahmat dan kesabaran dalam proses penulisan makalah ini. kami semakin
menyadari bahwa dalam melakukan hal apapun dibutuhkan ketekunan, kesabaran, dan
ketelitian.
Dalam
makalah ini kami mengangkat wacana
Kaidah-Kaidah Hukum Islam dan Macam-Macamnya. Namun demikian, kami menyadari
bahwa apa yang telah kami hasilkan dalam makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itulah kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan
analisis yang kami sajikan dalam makalah ini.
Semoga
makalah yang telah kami selesaikan ini memberikan manfaat yang besar bagi umat
islam dan bangsa Indonesia ,
khususnya bagi kita semua.
Pamulang, 20 November 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL.......................................................................................... i
KATA
PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR
ISI..................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang dan Masalah.............................................................. 1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. QAIDAH
AL-USHULIYAH...................................................
3
B. QAIDAH
AL-TASYI’IYAH...................................................
6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................
10
DAFTAR
PUSTAKA .......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kaidah-kaidah
hukum tidaklah disusun dalam suatu kurun waktu tertentu. Hukum-hukum itu baru
tersusun secara sistematis di kemudian hari sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan
ijtihad di kalangan para pakar dan pendiri madzhab dalam hukum islam.
Makna-makna
yang tergantung dalam kaidah-kaidah hukum ditetapkan oleh para pakar hukum
islam yang kemudian dikenal sebagai pendiri dan tokoh madzhab hukum. Mereka
menyusun kaidah-kaidah hukum berdasarkan pengalaman empiriknya yang kemudian
dirumuskannya melalui penalaran induktif. Dengan demikian, tidak mengherankan
jika kaidah-kaidah hukum itu baru dikodifikasikan pada abad ke-3 hijriah.
Bunyi
pernyataan dalam bentuk kaidah hukum dalam kitab-kitab hukum karya ulama
terdahulu berbeda dengan bunyi pernyataan kaidah hukum dalam kitab-kitab yang
ditulis para pakar hukum islam yang datang kemudian. Tokoh pendahulu dalam
penulisan kaidah-kaidah hukum islam adalah Abu al-Hasan Ubaidillah bin
al-Husain bin al-Karkhi (160-340H) yang dikenal dengan nama al-Karkhi. Kaidah
tentang ijtihad dalam karya al-Karkhi berbunyi:
Artinya : Pada pokoknya
apabila suatu kasus telah ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad, maka
ketetapan tersebut tidak dapat dihapuskan dengan hasill ijtihad serupa.
Ketetapan tersebut dapat dihapus berdasarkan nash.
Susunan
pernyataan yang terkandung di dalam kaidah hukum itu tidak diketahui secara
pasti dari mana asal-usulnya. Akan tetapi, kaidah hukum itu ada yang dipetik
sepenuhnya dari teks al-Qur’an dan dari hadits Nabi.
Dengan
mengamati definisi-definisi diatas dapatlah difaham bahwa kaiadah-kaidah hukum
yang dibangun oleh para pakarhukum itu
disususn berdasarkan penalan induktif.para ahli ushul fiqh, yakni kaum
epistemology hukum islsm telah menyusun kaidah-kaidah hukum itu berdasrkan
penalaran induktif.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
pengertian dan urgensi kaidah ushuliyah
?
2. Apa
pengertian dan urgensi kaidah Al-Tasyri’iyah
?
C. Tujuan
- 1. Mengetahui pengertian dan urgensi kaidah ushuliyah
- 2. Mengetahui pengertian dan urgensi kaidah Al-Tasyri’iyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. QAIDAH AL-USHULIYAH
1. Pengertian
Qaidah Ushuliyah
Qaidah
ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam
bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak.
Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad)
adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok,
dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk
menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang
dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah
Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah
ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang
digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan
didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Drs.
Beni Ahmad Saebani, M.Si. Mengemukakan pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad
Asy-Syafi’i dan Fathi Ridwan. Pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad
Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut :
Artinya :
“Hukum-hukum yang
bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum
juz’i.”
Adapun
menurut Fathi Ridwan pengertian kaidah itu adalah sebagai berikut :
Artinya :
“Hukum-hukum yang
bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannnya.”
Dalil
syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan
mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu
cabang hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat menyeluruh itu disebut pula
qaidah ushuliyah. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali
hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz
atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah
ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli
(kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan
hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari
beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas disimpulkan bahwa kaidah
ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’
sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.
2. Urgensi
Qaidah Ushuliyah
Secara
global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah),
‘akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan bahasa (ushul at-tahlil al-lughawi).
Qaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum
adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan
hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah
dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa
hukum yang dihadapinya.
Drs.
Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting
karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan
hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah
merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum
Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan.
Beliau juga mengemukakan pendapat Abdul Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim
yang mengatakan bahwa penetapan hukum perintah, larangan, dan sebagainya,
berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam hukum
Islam merupakan fungsi utama dari kaidah ushuliyah.
3. Jenis-jenis
Qaidah Ushuliyah
Drs.
Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah ushuliyah yang
pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang berhubungan dengan
kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun
kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
Ø Kaidah
ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf
untuk mengamalkannya.
Artinya : “Asal dari
perintah itu wajib”
Contohnya dalam surat
Al-Baqarah ayat : 43
Arti dari surat
Al-Baqarah ayat 43 yaitu Dan dirikanlah
sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.
Ø Kaidah
kedua :
Artinya : “Asal dari
perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam surat
Al-Baqarah ayat 60.
Ø Kaidah
ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
Artinya : “Asal dari
larangan itu hukumnya haram.
Contohnya dalam surat
Al-Baqarah ayat 11.
Arti dari surat Al-Baqarah ayat 11
yaitu Bila mereka dinasehati agar
meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut, mereka membuat dalih dan alasan
dengan mengatakan bahwa mereka sebenarnya berusaha mengadakan perbaikan dan
perdamaian antara golongan muslimin dengan golongan yang lainya. Mereka
mengatakan bahwa tindakan-tindakan mereka yang merusak itu sebagai suatu usaha
perbaikan untuk menipu kaum muslimin.
Menurut
beliau, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah tasyri’iyah,
tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Kaidah yang kedua ini akan penulis
jelaskan secara terpisah di makalah ini setelah pembahasan kaidah ushuliyah.
Adapun
contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA.
adalah sebagai berikut:
a. Kaidah
: Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar
lafazh bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).
b. Kaidah
: Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka
didahulukan dalil yang melarang.”
c. Kaidah
: Artinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna
eksplisit.”
d. Kaidah
: Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
e. Kaidah
: Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.
f. Kaidah
: Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
g. Kaidah
: Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.
B. QAIDAH AL-TASYRI’IYAH
1. Pengertian
Qaidah Al-Tasyri’iyah
Qaidah
al-tasyri’iyah terdiri dari dua kata yaitu qaidah dan al-tasyri’iyah. Apa yang
dimaksud dengan kaidah, secara jelas telah dibahas pada pembahasan qaidah
al-ushuliyah. Adapun yang dimaksud dengan al-tasyri’iyah akan diterangkan
berikut ini.
Dr.
Juhaya S. Praja mengemukakan bahwa dalam bahasa Arab dijumpai kata shara’a yang
berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama, dengan
demikian, kata tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam
tasyri’, antara lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu
peraturan perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun
tasyri’ wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan
oleh manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Kaidah
perundang-undangan yang dalam istilah ahli ushul fiqhi dikenal dengan nama
Qawa’idut-Tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat
undang-undang dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin
dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.
Dari definisi di atas
diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna terutama dalam proses
penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar ada dua macam, yaitu
qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).
Ø Qanun
tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum
syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum
syara’.
Ø Qanun
ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan
dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk
melaksanakan hukum syara’ tertentu.
2. Urgensi
Qaidah Al-Tasyri’iyah
Menurut
Juhaya S. Praja kata tasyri’ yang berarti pembentukan jalan raya kemudian
digunakan dikalangan ahli hukum Islam dalam arti pembentukan teori-teori hukum
Islam. Oleh karena itu, term tasyri’ berarti pembentukan hukum Islam secara
sistematis; pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. Dengan
demikian, di dalam term tasyri’ terkandung dua unsur, unsur wahyu dan unsur
akal yang telah bekerja dalam menggali hukum –hukum yang disebut ijtihad.
Sementara
itu dijelaskan bahwa para ulama ushul fiqh memperoleh kaidah-kaidah tasyri’iyah
(kaidah-kaidah perundang-undangan) setelah mengadakan penelitian terhadap
hukum-hukum syari’at, hikmah, illat dan sebab-sebab disyari’atkan suatu hukum,
terhadap nash-nash yang menetapkan dasar-dasar pembuatan syari’at secara umum
dan terperinci dan mengistimbathkan hukum dari nash-nash tersebut dan dari peristiwa
yang belum ada nashnya, agar perundang-undangan tersebut dapat merealisir
tujuan syari’at dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan dan menghindarkan
kerusakan dan ketidakadilan di antara manusia.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa kaidah tasyri’iyah itu
sangatlah penting bagi kita semua. Kebutuhan manusia akan hal itu tak dapat
dipungkiri. Kaidah perundang-undangan yang berfungsi meralisir tujuan syari’at
yang mengatur kehidupan manusia sehingga terwujudnya kemaslahatan di
tengah-tengah kehidupan mereka.
Pentingnya
kaidah tesyri’iyah (kaidah perundang-undangan) bisa dilihat dari tujuan
diciptakannya syari’at (undang-undang) itu sendiri. Muchtar Yahya dan Fatchur
Rahman mengemukakan bahwa syar’i dalam menciptakan syari’at (undang-undang)
bukanlah serampangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir
kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi
ummat manusia.
Mereka
berdua menjelaskan bahwa ada tiga macam tujuan umum perundang-undangan yang
dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
a. Untuk
memelihara Al-Umurudh-dharuriyah dalam kehidupan manusia. Yakni hal-hal yang
menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan
mereka. Artinya bila sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka menjadi
kacau-balau, kemaslahatan tidak tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal
dapat dinikmati.
b. Untuk
memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam kehidupan manusia. Yaitu hal-hal yang
dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak
halangan. Artinya bila sekiranya hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai
membawa tata aturan hidup manusia berantakan dan kacau melainkan hanya sekedar
membuat kesulitan dan kesukaran saja.
c. Untuk
merealisir Al-Umurut-tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi
oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati
oleh kepribadian yang kuat. Artinya bila umurut tahsiniyah ini tidak dapat
dipenuhi, maka kehidupan manusia tidaklah sekacau sekiranya urusan dharuriyah
tidak diwujudkan dan tidak membawa kesusahan dan kesulitan seperti tidak
dipenuhinya urusan hajiyah manusia. Akan tetapi, hanya dianggap kurang harmonis
oleh pertimbangan nalar sehat dan suara hati nurani.
3. Beberapa
Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam
buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami” dijelaskan bahwa
ada beberapa kaidah perundang-undangan. Antara lain:
a. Al-Qur’an
adalah sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
b. Peristiwa
yang sudah ditunjuk oleh nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh
ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
c. Peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya
ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun
ijtihad fardi (perseorangan).
d. Keputusan
dari ijtihad-jama’i (kolektif) harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil
pendapat dari ijtihad-fardi (perseorangan).
e. Landasan
utama ijtihad adalah Qiyas atau memelihara kemaslahatan orang banyak.
f. Kedua
macam ijtihad tersebut harus berlandaskan kepada muqayasah (saling mengadakan
analogi suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain). Analogi atas
kejadian-kejadian khusus disebut Qiyas mutlaq dan analogi atas kejadian-kejadian
umum disebut Qiyas mashlahah atau mashalihul-mursalah.
Sementara
dalam buku yang berjudul “Ilmu Ushul Fiqh” disebutkan bahwa kaidah tasyri’iyah
itu acuan pokoknya tetap pada kaidah bahasa, misalnya kaidah:
Artinya
: “Tidak sempurna kewajiban, kecuali
menjalankan kewajiban yang lainnya.”
Dalam
buku tersebut dijelaskan bahwa kaidah di atas adalah kaidah hukum, karena
menyebutkan kata wajib, yakni wajib yang dilaksanakan menjadi tidak sempurna
sebelum melaksanakan kewajiban yang lain, misalnya melaksanakan shalat tanpa
berwudhu lebih dahulu.
Sebab-sebab
dikeluarkannya suatu tuntutan atau perintah yang kuat selalu mengikuti status
hukum musababnya. Artinya jika status hukum musababnya wajib, maka wajib pula
hukum sebab yang menjadi perantaranya.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
KAIDAH
USHULIYAH
Kaidah
dalam bahasa Arab, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang
mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id.
Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil
sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil
syara’, titik tolak pengambilan dalil, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar
pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang
memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan
dan kesusastraan Arab.
Urgensi
kaidah ushuliyah qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti
ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah
ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap
peristiwa hukum yang dihadapinya.
Drs.
Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting
karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan
hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah
merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum
Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan.
a. Jenis
jenis
Ø Kaidah
ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf
untuk mengamalkannya.
Artinya
: “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah ayat : 43
Arti
dari surat Al-Baqarah ayat 43 yaitu Dan
dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.
Ø Kaidah
kedua :
Artinya : “Asal dari
perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
Ø Kaidah
ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
Artinya : “Asal dari
larangan itu hukumnya haram.
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah ayat 11.
b. Contoh
a) Kaidah
: Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka
didahulukan dalil yang melarang.”
b) Kaidah
: Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
c) Kaidah
: Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.
d) Kaidah
: Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
e) Kaidah
: Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya
2.
KAIDAH AL-TASYRI’IYAH
Kata
tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara
lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan
perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’
wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh
manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Dari
definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna
terutama dalam proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis
besar ada dua macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun
ijra’i (peraturan prosedural).
Ø Qanun
tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum
syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum
syara’.
Ø Qanun
ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan
dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk
melaksanakan hukum syara’ tertentu.
a. Urgensi
Tiga macam tujuan umum
perundang-undangan yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
a)
Untuk memelihara Al-Umurudh-dharuriyah
dalam kehidupan manusia.
b)
Untuk memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam
kehidupan manusia.
c)
Untuk merealisir Al-Umurut-tahsiniyah,
yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi
oleh adat kebiasaan yang bagus.
b. Beberapa
Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh-Islami” dijelaskan bahwa ada beberapa kaidah
perundang-undangan. Antara lain:
a) Al-Qur’an
adalah sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
b) Peristiwa
yang sudah ditunjuk oleh nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh
ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
c) Peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya
ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun
ijtihad fardi (perseorangan).
d) Keputusan
dari ijtihad-jama’i (kolektif) harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil
pendapat dari ijtihad-fardi (perseorangan).
DAFTAR
PUSTAKA
Beni
Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009, hlm. 193-194.
Rachmat
Syafe’i, Ulmu Ushul Fiqih (untuk UIN,STAIN,PTAIS), Bandung, Pustaka Setia,
2007, hlm.147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar