Rabu, 24 Januari 2018

QAIDAH AL-USHULIYAH

KHAIDAH-KHAIDAH HUKUM ISLAM
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Hukum Islam Semester V
Dosen  :  SAN RIDWAN MAULANA, SSI, Spdi, MM






Disusun oleh :                            
Agus Priyanto
Mita Tisane Gusti



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS PAMULANG
2014
                                                                                              










KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok ini, setelah melalui banyak ujian dan rintangan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad SAW.
Setelah melalui perjuangan  yang sangat melelahkan, dan telah menguras banyak waktu, fikiran, tenaga, bahkan materi, akhirnya makalah ini dapat kami selesaikan untuk memenuhi syarat tugas kelompok. kami sangat bersyukur kepada Allah SWT, karena telah memberikan banyak rahmat dan kesabaran dalam proses penulisan makalah ini. kami semakin menyadari bahwa dalam melakukan hal apapun dibutuhkan ketekunan, kesabaran, dan ketelitian.
Dalam makalah ini kami  mengangkat wacana Kaidah-Kaidah Hukum Islam dan Macam-Macamnya. Namun demikian, kami menyadari bahwa apa yang telah kami hasilkan dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itulah kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan analisis yang kami sajikan dalam makalah ini.
Semoga makalah yang telah kami selesaikan ini memberikan manfaat yang besar bagi umat islam dan bangsa Indonesia, khususnya bagi  kita semua.

Pamulang, 20 November 2014
Penyusun





DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang dan Masalah.............................................................. 1
B.       Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C.       Tujuan................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    QAIDAH AL-USHULIYAH................................................... 3
B.     QAIDAH AL-TASYI’IYAH................................................... 6

BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan......................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................  13










BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Kaidah-kaidah hukum tidaklah disusun dalam suatu kurun waktu tertentu. Hukum-hukum itu baru tersusun secara sistematis di kemudian hari sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ijtihad di kalangan para pakar dan pendiri madzhab dalam hukum islam.
Makna-makna yang tergantung dalam kaidah-kaidah hukum ditetapkan oleh para pakar hukum islam yang kemudian dikenal sebagai pendiri dan tokoh madzhab hukum. Mereka menyusun kaidah-kaidah hukum berdasarkan pengalaman empiriknya yang kemudian dirumuskannya melalui penalaran induktif. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kaidah-kaidah hukum itu baru dikodifikasikan pada abad ke-3 hijriah.
Bunyi pernyataan dalam bentuk kaidah hukum dalam kitab-kitab hukum karya ulama terdahulu berbeda dengan bunyi pernyataan kaidah hukum dalam kitab-kitab yang ditulis para pakar hukum islam yang datang kemudian. Tokoh pendahulu dalam penulisan kaidah-kaidah hukum islam adalah Abu al-Hasan Ubaidillah bin al-Husain bin al-Karkhi (160-340H) yang dikenal dengan nama al-Karkhi. Kaidah tentang ijtihad dalam karya al-Karkhi berbunyi:
Artinya : Pada pokoknya apabila suatu kasus telah ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad, maka ketetapan tersebut tidak dapat dihapuskan dengan hasill ijtihad serupa. Ketetapan tersebut dapat dihapus berdasarkan nash.
Susunan pernyataan yang terkandung di dalam kaidah hukum itu tidak diketahui secara pasti dari mana asal-usulnya. Akan tetapi, kaidah hukum itu ada yang dipetik sepenuhnya dari teks al-Qur’an dan dari hadits Nabi.
Dengan mengamati definisi-definisi diatas dapatlah difaham bahwa kaiadah-kaidah hukum yang dibangun oleh para pakarhukum itu  disususn berdasarkan penalan induktif.para ahli ushul fiqh, yakni kaum epistemology hukum islsm telah menyusun kaidah-kaidah hukum itu berdasrkan penalaran induktif.


B.       Rumusan masalah
1.    Apa pengertian  dan urgensi kaidah ushuliyah ?
2.    Apa pengertian  dan urgensi kaidah Al-Tasyri’iyah ?

C.       Tujuan
  • 1. Mengetahui pengertian  dan urgensi kaidah ushuliyah
  •  2. Mengetahui pengertian  dan urgensi kaidah Al-Tasyri’iyah














BAB II
PEMBAHASAN

A.  QAIDAH AL-USHULIYAH
1.    Pengertian Qaidah Ushuliyah
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Mengemukakan pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dan Fathi Ridwan. Pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut :
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i.”
Adapun menurut Fathi Ridwan pengertian kaidah itu adalah sebagai berikut :
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannnya.”
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat menyeluruh itu disebut pula qaidah ushuliyah. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.
2.    Urgensi Qaidah Ushuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan bahasa (ushul at-tahlil al-lughawi). Qaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Beliau juga mengemukakan pendapat Abdul Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim yang mengatakan bahwa penetapan hukum perintah, larangan, dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam hukum Islam merupakan fungsi utama dari kaidah ushuliyah.
3.    Jenis-jenis Qaidah Ushuliyah
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
Ø Kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk mengamalkannya.
Artinya : “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat : 43
Arti dari surat Al-Baqarah ayat 43 yaitu Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.
Ø Kaidah kedua :
Artinya : “Asal dari perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
Ø Kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
Artinya : “Asal dari larangan itu hukumnya haram.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 11.
Arti dari surat Al-Baqarah ayat 11 yaitu Bila mereka dinasehati agar meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut, mereka membuat dalih dan alasan dengan mengatakan bahwa mereka sebenarnya berusaha mengadakan perbaikan dan perdamaian antara golongan muslimin dengan golongan yang lainya. Mereka mengatakan bahwa tindakan-tindakan mereka yang merusak itu sebagai suatu usaha perbaikan untuk menipu kaum muslimin.
Menurut beliau, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah tasyri’iyah, tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Kaidah yang kedua ini akan penulis jelaskan secara terpisah di makalah ini setelah pembahasan kaidah ushuliyah.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA. adalah sebagai berikut:
a.  Kaidah : Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).
b.  Kaidah : Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”
c.  Kaidah : Artinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.”
d.   Kaidah : Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
e.    Kaidah : Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.
f.     Kaidah : Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
g.    Kaidah : Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.

B.  QAIDAH AL-TASYRI’IYAH
1.    Pengertian Qaidah Al-Tasyri’iyah
Qaidah al-tasyri’iyah terdiri dari dua kata yaitu qaidah dan al-tasyri’iyah. Apa yang dimaksud dengan kaidah, secara jelas telah dibahas pada pembahasan qaidah al-ushuliyah. Adapun yang dimaksud dengan al-tasyri’iyah akan diterangkan berikut ini.
Dr. Juhaya S. Praja mengemukakan bahwa dalam bahasa Arab dijumpai kata shara’a yang berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama, dengan demikian, kata tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’ wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Kaidah perundang-undangan yang dalam istilah ahli ushul fiqhi dikenal dengan nama Qawa’idut-Tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.
Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna terutama dalam proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar ada dua macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).
Ø Qanun tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’.
Ø Qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu.
2.    Urgensi Qaidah Al-Tasyri’iyah
Menurut Juhaya S. Praja kata tasyri’ yang berarti pembentukan jalan raya kemudian digunakan dikalangan ahli hukum Islam dalam arti pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu, term tasyri’ berarti pembentukan hukum Islam secara sistematis; pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. Dengan demikian, di dalam term tasyri’ terkandung dua unsur, unsur wahyu dan unsur akal yang telah bekerja dalam menggali hukum –hukum yang disebut ijtihad.
Sementara itu dijelaskan bahwa para ulama ushul fiqh memperoleh kaidah-kaidah tasyri’iyah (kaidah-kaidah perundang-undangan) setelah mengadakan penelitian terhadap hukum-hukum syari’at, hikmah, illat dan sebab-sebab disyari’atkan suatu hukum, terhadap nash-nash yang menetapkan dasar-dasar pembuatan syari’at secara umum dan terperinci dan mengistimbathkan hukum dari nash-nash tersebut dan dari peristiwa yang belum ada nashnya, agar perundang-undangan tersebut dapat merealisir tujuan syari’at dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan dan menghindarkan kerusakan dan ketidakadilan di antara manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa kaidah tasyri’iyah itu sangatlah penting bagi kita semua. Kebutuhan manusia akan hal itu tak dapat dipungkiri. Kaidah perundang-undangan yang berfungsi meralisir tujuan syari’at yang mengatur kehidupan manusia sehingga terwujudnya kemaslahatan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pentingnya kaidah tesyri’iyah (kaidah perundang-undangan) bisa dilihat dari tujuan diciptakannya syari’at (undang-undang) itu sendiri. Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman mengemukakan bahwa syar’i dalam menciptakan syari’at (undang-undang) bukanlah serampangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi ummat manusia.
Mereka berdua menjelaskan bahwa ada tiga macam tujuan umum perundang-undangan yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
a.    Untuk memelihara Al-Umurudh-dharuriyah dalam kehidupan manusia. Yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Artinya bila sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau-balau, kemaslahatan tidak tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat dinikmati.
b.    Untuk memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam kehidupan manusia. Yaitu hal-hal yang dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Artinya bila sekiranya hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia berantakan dan kacau melainkan hanya sekedar membuat kesulitan dan kesukaran saja.
c.    Untuk merealisir Al-Umurut-tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Artinya bila umurut tahsiniyah ini tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan manusia tidaklah sekacau sekiranya urusan dharuriyah tidak diwujudkan dan tidak membawa kesusahan dan kesulitan seperti tidak dipenuhinya urusan hajiyah manusia. Akan tetapi, hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suara hati nurani.
3.    Beberapa Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami” dijelaskan bahwa ada beberapa kaidah perundang-undangan. Antara lain:
a.  Al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
b.  Peristiwa yang sudah ditunjuk oleh nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
c.  Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun ijtihad fardi (perseorangan).
d.  Keputusan dari ijtihad-jama’i (kolektif) harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil pendapat dari ijtihad-fardi (perseorangan).
e.    Landasan utama ijtihad adalah Qiyas atau memelihara kemaslahatan orang banyak.
f.  Kedua macam ijtihad tersebut harus berlandaskan kepada muqayasah (saling mengadakan analogi suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain). Analogi atas kejadian-kejadian khusus disebut Qiyas mutlaq dan analogi atas kejadian-kejadian umum disebut Qiyas mashlahah atau mashalihul-mursalah.

Sementara dalam buku yang berjudul “Ilmu Ushul Fiqh” disebutkan bahwa kaidah tasyri’iyah itu acuan pokoknya tetap pada kaidah bahasa, misalnya kaidah:
Artinya : “Tidak sempurna kewajiban, kecuali menjalankan kewajiban yang lainnya.”
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kaidah di atas adalah kaidah hukum, karena menyebutkan kata wajib, yakni wajib yang dilaksanakan menjadi tidak sempurna sebelum melaksanakan kewajiban yang lain, misalnya melaksanakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.
Sebab-sebab dikeluarkannya suatu tuntutan atau perintah yang kuat selalu mengikuti status hukum musababnya. Artinya jika status hukum musababnya wajib, maka wajib pula hukum sebab yang menjadi perantaranya.














BAB III
KESIMPULAN

1.    KAIDAH USHULIYAH
Kaidah dalam bahasa Arab, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Urgensi kaidah ushuliyah qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan.
a.    Jenis jenis 
Ø Kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk mengamalkannya.
Artinya : “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat : 43
Arti dari surat Al-Baqarah ayat 43 yaitu Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.
Ø Kaidah kedua :
Artinya : “Asal dari perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
Ø Kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
Artinya : “Asal dari larangan itu hukumnya haram.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 11. 
b.    Contoh
a)    Kaidah : Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”
b)   Kaidah : Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
c)    Kaidah : Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.
d)   Kaidah : Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
e)    Kaidah : Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya

2.    KAIDAH  AL-TASYRI’IYAH
Kata tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’ wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna terutama dalam proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar ada dua macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).
Ø Qanun tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’.
Ø Qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu.
a.    Urgensi
Tiga macam tujuan umum perundang-undangan yang dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
a)    Untuk memelihara Al-Umurudh-dharuriyah dalam kehidupan manusia.
b)   Untuk memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam kehidupan manusia.
c)    Untuk merealisir Al-Umurut-tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus. 
b.    Beberapa Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami” dijelaskan bahwa ada beberapa kaidah perundang-undangan. Antara lain:
a)    Al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua.
b)   Peristiwa yang sudah ditunjuk oleh nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
c)  Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i dalalahnya ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun ijtihad fardi (perseorangan).
d)   Keputusan dari ijtihad-jama’i (kolektif) harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil pendapat dari ijtihad-fardi (perseorangan).










DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009, hlm. 193-194.
Rachmat Syafe’i, Ulmu Ushul Fiqih (untuk UIN,STAIN,PTAIS), Bandung, Pustaka Setia, 2007, hlm.147.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar